Saturday, December 31, 2016

Senyum (Smile)


"Kadang-kadang sukacita Anda sumber senyum Anda, tapi kadang-kadang senyum Anda bisa menjadi sumber sukacita Anda."

—Thich Nhat Hanh (l: 1926)




#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Lalu Waktu


Saudaraku, pergantian tahun hanyalah pergeseran bilangan; tidak dengan sendirinya membawa substansi baru.

Betapapun, kedatangan tahun baru menerbitkan fajar kesadaran betapa cepat kilatan waktu berlalu, melewati kita dalam tumpukan masalah yang tertinggal di masa lalu.

Degup jantung kita ibarat detak waktu, yang setiap detiknya mengabarkan kehilangan dan penantian. Yang berlalu adalah kekinian yang lekas silam. Yang mendatang adalah kekinian yang lekas menjemput. George Orwell mengatakan, “Who controls the past controls the future, who controls the present controls the past.” Maknanya, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini.

Dengan angin keburukan yang kita tabur hari ini, masa lalu menjadi hantu, masa depan menuai badai. Dengan biji kebaikan yang kita tanam hari ini, masa lalu menjadi lumbung keagungan, dan masa depan menyongsong panen kebahagiaan.

Sebuah sekte rahasia menciptakan tanda peringatan tentang pentingnya waktu di ruang bawah tanah Gereja Santa Maria della Concezione, di puncak Stupa Spanyol di Roma. Pada lantai ruangan biarawan Capuchin, di kaki gundukan tulang-belulang manusia, tertulis sebuah inskripsi, “What you are, they once were/What they are, you will be.

Maka, seperti tertulis dalam Injil Matius (6:34), “Jangan cemaskan esok hari karena hari esok akan mencemaskan dirinya sendiri.” Dikatakan pula oleh Nabi Muhammad, “Sekiranya engkau tahu kiamat terjadi esok hari, sedang di genggaman tanganmu ada benih, maka tanamkanlah.”

Seorang muda bertanya kepada syekh tua yang sedang menanam pohon. ”Untuk apa menanam sesuatu yang tuan tak akan menikmati buahnya? Syekh itu pun menukas, “Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kau tanam sendiri?”

Kecemasan akan hari esok hanya bisa diatasi dengan menanam kebajikan hari ini. Jika pandangan kita ke depan digayuti kabut kerisauan dan pesimisme, sebab utamanya karena kita berhenti menanam harapan untuk masa depan.

Banyak orang menyia-nyiakan waktu, seolah waktu itu berlimpah, berputar melingkar. Sesungguhnya, waktu itu ibarat aliran sungai. “Tak ada seorang pun yang bisa melintasi sungai yang sama dua kali,” ujar Heraclitus. Sungai terus mengalir, manusia terus berubah.

Waktu adalah milik kita yang paling berharga. Dalam kaidah ekonomi, semakin jarang sesuatu dan semakin sering digunakan, maka akan semakin bernilai. Emas, misalnya, cadangannya terbatas, tetapi banyak digunakan, maka nilainya sangat tinggi. Kebanyakan hal yang bisa dimiliki bisa diisi ulang. Cadangan berlian dan emas bisa ditemukan, uang bisa dicetak kembali, tetapi tidak dengan waktu. Waktu yang hilang tidak tergantikan. Peribahasa “waktu adalah uang” tidak sepenuhnya tepat. Waktu, sebagai sumber daya yang paling jarang, jauh lebih berharga daripada uang.

Dalam penggunaan waktu juga berlaku prinsip “opportunity costs”. Bahwa apa pun yang kita pilih untuk diperbuat berisiko hilangnya kesempatan melakukan hal lain. Dengan uang, kita memiliki pilihan konservatif dengan menyimpannya di bank, tetapi tidak dengan waktu. Kita mengeluarkan waktu setiap saat. Kita ”adalah jam yang setiap saat waktu berkata sendiri”, ujar Shakespeare.

Waktu bukanlah keabadian, sekadar labirin tanda tanya yang di setiap ujung jeda dan pintunya selalu sisakan misteri. Akan tetapi, setiap jejak tidaklah sia-sia. Seperti samudra bermula dari tetes air. Setiap darma memberi harapan masa depan. Lukisan masa depan adalah pilihan kita menggoreskan warna pada kanvas masa kini.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Wednesday, December 28, 2016

Toleransi


Saudaraku, tahun 638 Masehi, ketika Khalifah Umar dipandu menyusuri Yerusalem oleh Patriarch Sophoronius, Sang Khalifah menolak untuk menunaikan shalat di Anastasis; yang dipercaya sebagai tempat kematian dan kebangkitan Kristus. Ia khawatir, jika ia salat di sana, kaum Muslim akan mengubahnya menjadi tempat peribadatan Islam.

Tidak hanya itu. Quran adalah kitab suci yang sangat menonjol dalam mengakui keabsahan agama-agama lain. Di bawah kejayaan Islam, orang Yahudi dan Nasrani dilindungi sebagai ahli kitab dan diberi kebebasan (relatif) untuk menjalankan agamanya.

"Sekali menyerah," tulis Karen Amstrong, "tak ada pembunuhan, tak ada perusakan properti, tak ada pembakaran simbol agama lain, tak ada pengusiran atau perampasan, dan tak ada usaha memaksa penduduk setempat untuk memeluk Islam." Ditambahkan oleh Montgomary Watt, "Secara keseluruhan, lebih banyak toleransi yang lebih jujur (genuine) bagi non-Muslim di bawah Islam, ketimbang bagi non-Kristen di bawah Kristen pada zaman pertengahan."

Kedamaian memang tidak selamanya mewarnai sejarah Islam, tapi setidaknya ada monumen pencapaian. Semenanjung Iberia sering dirujuk sejarawan sebagai pusat teladan. Kedamaian Cordoba menarik orang-orang dari latar multikultur dan menjadi melting pot bagi seni dan kerajinan, ragam bahasa, budaya, filsafat, dan tradisi keagamaan. Raja Al-Hakam II terkenal sebagai patron para penyair, penulis, dan penari. Toledo dikenal sebagai kota tiga budaya, sebagai kristalisasi perjumpaan damai dari tiga agama (Islam, Kristen, Yahudi).

Namun, hari ini, warisan luhur seperti itu lebih sering digunakan kalangan Islam sebagai alasan untuk menyudutkan lawan ketimbang sebagai sumber inspirasi untuk mempertahankan toleransi Islam. "Sekalipun sejarah Islam menunjukan toleransi yang kuat," ujar Trevor Mostyn (2002), "Islam politik belakangan cenderung menolak toleransi."

Di bawah politisasi agama oleh Islam politik, "pedang Tuhan" tidak hanya mengancam kebebasan orang/kelompok agama yang berbeda, melainkan juga sesama penganut Islam sendiri.

Dalam dua dekade terakhir, dunia mencatat beberapa landmark dari aksi-aksi kekerasan dan pembungkaman kebebasan di dunia muslim. Terjepit di antara kekerasan negara, kekerasan pasar, dan kekerasan kelompok keagamaan, membuat watak sejati Islam kehilangan ekspresinya.

Dalam bayangan murung seperti itu, Indonesia banyak dipuji dunia sebagai komunitas Muslim yang paling menjanjikan. Dalam belasan tahun terakhir, represi negara terhadap kebebasan sipil dan politik berkurang secara drastis. Namun ancaman baru muncul berupa kekerasan dan fanatisisme kelompok-kelompok "sipil" (yang sebenarnya uncivil).

Di sini terbukti, masyarakat sipil tidaklah homogen seperti yang dibayangkan. Melainkan menjadi pertarungan di antara kelompok-kelompok ideologis yang berlawanan. Jika kata civil society itu merujuk pada istilah "societas civilis" yang menjunjung tinggi keadaban, maka benarlah pandangan para pemikir pencerahan bahwa kata civil society tidaklah diperhadapkan dengan "negara", melainkan dengan "fanatisisme". Fanatisisme adalah paham yang melakukan penolakan terhadap representasi. Bentuk paling eksplisit dari penolakan tersebut adalah ikonoklasme: kebencian dan perusakan terhadap ikon dan citra.

Dalam seni, fanatisisme menolak representasi dengan melamurkan pandangan terhadap adanya "aesthetic gap" yang memisahkan realitas sungguhan dengan realitas rekaan sebagai karya seni. Padahal, interes seni terletak pada fakta bahwa tak ada aturan yang tetap dan diterima secara umum yang menghubungkan realitas yang direpresentasikan dengan representasi karya seni. Dengan menolak prinsip representasi yang memungkinkan seniman mengembangkan interpretasi dan rekaan, fanatisisme telah membunuh kreativitas imajinatif sebagai nyawa kesenian.

Dalam politik, fanatisisme menolak representasi dengan mengabaikan adanya "ruang antara" yang memungkinkan interpretasi manusiawi, antara "kota Tuhan" dan "kota duniawi", antara agama dan negara, antara teks-teks kitab suci dan konteks-konteks yang spesifik, antara rakyat dan lembaga-lembaga perwakilan. Dengan menolak prinsip representasi dalam politik, fanatisisme menghadirkan Tuhan dalam wajah yang bengis, membunuh akal pikiran, membungkam perbedaan pendapat, dan memaksakan hukum besi.

Fanatisme, yang lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, merendahkan kemuliaan bani Adam. Kebebasan berekspresi (al-hurriyah al-ra'y wa al-ta'bir) merupakan unsur konstitutif kemuliaan itu. Al-Quran menyatakan bahwa martabat dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak adam" (Q.S. 17: 70). Dengan begitu, menjaga martabat manusia lebih penting dari semua hambatan rasial, sosial, atau religius yang mengotak-ngotakkan kemanusiaan.

Syariat menjamin kebebasan ekspresi selama itu tidak meluncurkan fitnah, penistaan, penghinaan, dan kebohongan (manipulasi dan distorsi informasi) serta tidak membangkitkan kemerosotan moral (keadaban publik), korupsi, dan permusuhan.

Saatnya menghormati perbedaan!

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Tuesday, December 27, 2016

Ulama Pemburu


Alkisah, sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim datang dengan sebuah buku yang dikepit di satu tangan dan tongkat di tangan yang lain. Seekor merpati berkata pada yang lain, "Mari terbang, orang itu bisa membunuh kita." Pasangannya menyahut, "Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan membahayakan kita." Sang ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke merpati betina, lantas ia sembelih untuk dimakan. Merasa dizalimi, pasangannya mengadu kepada Nabi Sulaiman.

Ulama itu pun dipanggil ke istana. "Kejahatan mana yang saya lakukan?" sanggahnya. "Bukannya daging merpati itu halal," lanjutnya. Merpati jantan menimpal, "Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika datang untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu. Engkau curang, datang berlaga sebagai ulama."

Ulama atau ilmuwan memang telanjur dinisbatkan sebagai sosok pelindung kemaslahatan umum. Nalarnya memberi lentera di kegelapan; nuraninya memberi oasis di tengah-tengah krisis keyakinan. Namun, dalam realitas kekinian, banyak orang berpredikat ulama/ilmuwan dengan kapasitas dan peran yang telah ditanggalkan.

Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama merisaukan fenomena seperti itu. Dalam kumpulan catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, yang kemudian dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis sebagai berikut: “Bagi kebanyakan orang-orang kita ‘yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ‘intelektuil’, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ‘orang-orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”

Banyak orang berpenampilan pandita untuk "menjual" ayat dengan harga yang murah; membenarkan manipulasi politik dengan rekayasa statistika; bertablig dengan disinformasi dan caci-maki. Merajalelanya pandita palsu membawa bencana dan kemarau keteladanan. 

Sutasoma  (dalam karya Empu Tantular) berkata, "Benar dikatakan bahwa murid haruslah mematuhi gurunya seperti mematuhi orangtuanya sendiri. Namun, jika guru bertindak jahat, maka akan ada kekeringan, hujan turun salah musim, panen-panen gagal, kesepuluh penjuru mata angin diliputi ketakutan, kejahatan terjadi di mana-mana, dan wabah penyakit berlangsung tanpa akhir."

Situasi demikian seakan menggemakan kembali ratapan pujangga agung Keraton Surakarta R. Ng. Ranggawarsita. Menjelang kematiannya pada 1873, ia menulis  Serat Kalatidha (Puisi Jaman Keraguan). Bait pertama puisi tersebut bersaksi, “Kilau derajat neraga lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketidaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus jaman keraguan.  Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman.”

Keadaan ini membuat negara tanpa tuntunan pengetahuan-kebijaksanaan yang kuat, yang menempatkannya dalam kondisi rawan. Para pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan pengetahuan. 

Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelamaan dari pikiran. Michel Foucault menegaskan,  “Pemerintah, oleh karenanya, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkrit, tepat, dan terukur.” 

Membanguan negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering machine). 

Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan negara ditentukan oleh kecerdasan terlihat dari pemahaman umum yang cenderung mengaitkan istilah “intelijen” (intelligence) dengan badan intelijen negara. Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. 

Pantaslah bila Imam al-Ghazali mengingatkan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, sedangkan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan." 

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Sunday, December 25, 2016

Toleransi (Tolerance)


“Kristen, Yahudi, Muslim, dukun, Zoroaster, batu, tanah, bukit, sungai, masing-masing memiliki jalannya sendiri dalam mewujud bersama misteri; unik dan tidak untuk dinilai.” 
Jalaluddin Rumi (1207–1273)





Berita terkait: 
  • Kami Menemui Pria Muslim yang Setiap Tahun Mengamankan Ibadah Natal di Gereja » http://bit.ly/2iiojri
Sesama manusia harus saling membantu. Saling membahagiakan.
“Saya menangis gembira... tak banyak orang yang mengingat kaum seperti kami ini. Tapi ada yang datang malam ini dan memberi kami cinta, makanan, dan kartu ucapan Natal. Semoga Tuhan memberkahi.” 

Thursday, December 22, 2016

Bineka (Diversity)




Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilisation.” 

―Mahatma Gandhi (1869–1948)


#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Wednesday, December 21, 2016

Memanusiakan Manusia (Humanizing)


Si tou timou tumou tou” (Manusia baru dapat disebut sebagai manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia) 
—Sam Ratulangi (1890–1949)

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga merupakan Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano. Namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di Manado, Bandara Sam Ratulangi, dan juga Universitas Sam Ratulangi, sebuah universitas negeri di Sulawesi Utara.

Rupiah pecahan Rp. 20.000,- bergambar Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi yang adalah putra terbaik kelahiran Minahasa, merupakan salah satu rupiah edisi baru yang diresmikan pengedarannya oleh Presiden Joko Widodo—seluruhnya 11 pecahan uang Rupiah tahun emisi 2016—bertepatan dengan perayaan Hari Bela Negara, yang jatuh pada 19 Desember 2016.

Seorang penulis, Michael Sendow mencoba menggambarkan secara sederhana apa maksud dari kalimat “Si tou timou tumou tou” itu. 

“Kenapa manusia baru dapat disebut manusia manakala ia sudah dapat memanusiakan manusia lain? Titik tolak dari pendapat beliau tentulah didasari atas pemahaman bahwa apa yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa kalau itu tidak memberi faedah bagi orang lain. Jujur saja, pendapat beliau bisa menjadi sebuah ‘kepastian universal’. Dapat diakui dan diterima dimana saja. Artinya begini, sebagai seorang manusia yang adalah ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan utama kita adalah tatkala kita dapat menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar, dan lebih baik hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar memperoleh ‘gelar kemanusiaannya’. Selama kepintaran, keterdidikan, kesuksesan, kekayaan, dan semua kelebihan yang kita miliki hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri, berarti kita belum menjadi manusia utuh sebagaimana seharusnya kita. Tapi apabila manusia lain kita angkat derajatnya menjadi lebih baik lagi, di situlah kita sudah turut memanusiakan mereka.”

Monday, December 19, 2016

Kebahagiaan (Happiness)


Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.”  
—Mahatma Gandhi (1869–1948)
Gandhi berpuasa (1924), bersama Indira muda, puteri Nehru, yang kelak menjadi Perdana Menteri India.

.

Wednesday, December 14, 2016

Persepsi Negatif (Negative Perception)


\

Pernah dengar cerita tentang seorang ibu yang sedang berjalan dengan anak gadis yang berusia 5 tahun? Dalam perjalanan, mereka berdua kehausan, sang ibu berkata kepada anaknya, “Ada dua buah apel dalam tas, apa yang akan kau lakukan dengan kedua apel itu?” Sang anak memegang kedua apel itu, dahinya berkernyit. Lalu digigitnya kedua apel itu. Sang ibu terlihat sedikit gusar, namun dia berusaha untuk menahan geram, dan tetap menunjukkan senyumnya, dia lalu bertanya, “Mengapa kau lakukan itu, mengapa kau gigit keduanya, sayang?” Dengan wajah yang tak berubah, anak itu menjawab, “Aku ingin tahu, mana apel yang lebih manis, apel itulah yang akan kuberikan untukmu”. Ibu itu terdiam.

Mari selalu sisipkan sedikit keraguan pada setiap penilaian buruk kita pada orang lain.


“Persepsi negatif adalah hakim yang lalim.” 
—Iwan Esjepe


#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Tuesday, December 13, 2016

Cinta Kasih (Love)


“Rasa cinta seluruh umat  
akan lebih bermartabat
jika tidak merasa paling hebat
karena cinta bukan tentang yang terkuat
tetapi tentang sebuah hakikat”

—Rois Abidin 

#saveNKRI


Berita terkait: 

“Saya menangis gembira... tak banyak orang yang mengingat kaum seperti kami ini. Tapi ada yang datang malam ini dan memberi kami cinta, makanan, dan kartu ucapan Natal. Semoga Tuhan memberkahi.”

Friday, December 9, 2016

Kekerasan (Violence)


When you call yourself an Indian or a Muslim or a Christian or a European, or anything else, you are being violent. Do you see why it is violent? Because you are separating yourself from the rest of mankind. When you separate yourself by belief, by nationality, by tradition, it breeds violence. So a man who is seeking to understand violence does not belong to any country, to any religion, to any political party or partial system; he is concerned with the total understanding of mankind.”  
—Jiddu Krishnamurti (1895–1986)


Sumber gambar: Jiddu Krishnamurti Bulgaria

Sumber kutipan: Buku “Freedom from the Known”, diterbitkan pertama kali pada 1969


Freedom from the Known, Chapter 6

FEAR, PLEASURE, SORROW, thought and violence are all interrelated. Most of us take pleasure in violence, in disliking somebody, hating a particular race or group of people, having antagonistic feelings towards others. But in a state of mind in which all violence has come to an end there is a joy which is very different from the pleasure of violence with its conflicts, hatreds and fears.

Can we go to the very root of violence and be free from it? Otherwise we shall live everlastingly in battle with each other. If that is the way you want to live - and apparently most people do - then carry on; if you say, `Well, I'm sorry, violence can never end', then you and I have no means of communication, you have blocked yourself; but if you say there might be a different way of living, then we shall be able to communicate with each other.


So let us consider together, those of us who can communicate, whether it is at all possible totally to end every form of violence in ourselves and still live in this monstrously brutal world. I think it is possible. I don't want to have a breath of hate, jealousy, anxiety or fear in me. I want to live completely at peace. Which doesn't mean that I want to die. I want to live on this marvellous earth, so full, so rich, so beautiful. I want to look at the trees, flowers, rivers, meadows, women, boys and girls, and at the same time live completely at peace with myself and with the world. What can I do?


If we know how to look at violence, not only outwardly in society - the wars, the riots, the national antagonisms and class conflicts - but also in ourselves, then perhaps we shall be able to go beyond it.


Here is a very complex problem. For centuries upon centuries man has been violent; religions have tried to tame him throughout the world and none of them have succeeded. So if we are going into the question we must, it seems to me, be at least very serious about it because it will lead us into quite a different domain, but if we want merely to play with the problem for intellectual entertainment we shall not get very far.


You may feel that you yourself are very serious about the problem but that as long as so many other people in the world are not serious and are not prepared to do anything about it, what is the good of your doing anything? I don't care whether they take it seriously or not. I take it seriously, that is enough. I am not my brother's keeper. I myself, as a human being, feel very strongly about this question of violence and I will see to it that in myself I am not violent - but I cannot tell you or anybody else, `Don't be violent.' It has no meaning - unless you yourself want it. So if you yourself really want to understand this problem of violence let us continue on our journey of exploration together.


Is this problem of violence out there or here? Do you want to solve the problem in the outside world or are you questioning violence itself as it is in you? If you are free of violence in yourself the question is, `How am I to live in a world full of violence, acquisitiveness, greed, envy, brutality? Will I not be destroyed?' That is the inevitable question which is invariably asked. When you ask such a question it seems to me you are not actually living peacefully. If you live peacefully you will have no problem at all. You may be imprisoned because you refuse to join the army or shot because you refuse to fight - but that is not a problem; you will be shot. it is extraordinarily important to understand this.


We are trying to understand violence as a fact, not as an idea, as a fact which exists in the human being, and the human being is myself. And to go into the problem I must be completely vulnerable, open, to it. I must expose myself to myself - not necessarily expose myself to you because you may not be interested - but I must be in a state of mind that demands to see this thing right to the end and at no point stops and says I will go no further.


Now it must be obvious to me that I am a violent human being. I have experienced violence in anger, violence in my sexual demands, violence in hatred, creating enmity, violence in jealousy and so on - I have experienced it, I have known it, and I say to myself, `I want to understand this whole problem not just one fragment of it expressed in war, but this aggression in man which also exists in the animals and of which I am a part.'


Violence is not merely killing another. It is violence when we use a sharp word, when we make a gesture to brush away a person, when we obey because there is fear. So violence isn't merely organized butchery in the name of God, in the name of society or country. Violence is much more subtle, much deeper, and we are inquiring into the very depths of violence.


When you call yourself an Indian or a Muslim or a Christian or a European, or anything else, you are being violent. Do you see why it is violent? Because you are separating yourself from the rest of mankind. When you separate yourself by belief, by nationality, by tradition, it breeds violence. So a man who is seeking to understand violence does not belong to any country, to any religion, to any political party or partial system; he is concerned with the total understanding of mankind.


Now there are two primary schools of thought with regard to violence, one which says, `Violence is innate in man' and the other which says, `Violence is the result of the social and cultural heritage in which man lives.' We are not concerned with which school we belong to - it is of no importance. What is important is the fact that we are violent, not the reason for it.


One of the most common expressions of violence is anger. When my wife or sister is attacked I say I am righteously angry; when my country is attacked, my ideas, my principles, my way of life, I am righteously angry. I am also angry when my habits are attacked or my petty little opinions. When you tread on my toes or insult me I get angry, or if you run away with my wife and I get jealous, that jealousy is called righteous because she is my property. And all this anger is morally justified. But to kill for my country is also justified. So when we are talking about anger, which is a part of violence, do we look at anger in terms of righteous and unrighteous anger according to our own inclinations and environmental drive, or do we see only anger? Is there righteous anger ever? Or is there only anger? There is no good influence or bad influence, only influence, but when you are influenced by something which doesn't suit me I call it an evil influence.


The moment you protect your family, your country, a bit of coloured rag called a flag, a belief, an idea, a dogma, the thing that you demand or that you hold, that very protection indicates anger. So can you look at anger without any explanation or justification, without saying, `I must protect my goods', or `I was right to be angry', or `How stupid of me to be angry'? Can you look at anger as if it were something by itself? Can you look at it completely objectively, which means neither defending it nor condemning it? Can you?


Can I look at you if I am antagonistic to you or if I am thinking what a marvellous person you are? I can see you only when I look at you with a certain care in which neither of these things is involved. Now, can I look at anger in the same way, which means that I am vulnerable to the problem, I do not resist it, I am watching this extraordinary phenomenon without any reaction to it?


It is very difficult to look at anger dispassionately because it is a part of me, but that is what I am trying to do. Here I am, a violent human being, whether I am black, brown, white or purple. I am not concerned with whether I have inherited this violence or whether society has produced it in me; all I am concerned with is whether it is at all possible to be free from it. To be free from violence means everything to me. It is more important to me than sex, food, position, for this thing is corrupting me. It is destroying me and destroying the world, and I want to understand it, I want to be beyond it. I feel responsible for all this anger and violence in the world. I feel responsible - it isn't just a lot of words - and I say to myself, `I can do something only if I am beyond anger myself, beyond violence, beyond nationality'. And this feeling I have that I must understand the violence in myself brings tremendous vitality and passion to find out.


But to be beyond violence I cannot suppress it, I cannot deny it, I cannot say, `Well, it is a part of me and that's that', or `I don't want it'. I have to look at it, I have to study it, I must become very intimate with it and I cannot become intimate with it if I condemn it or justify it. We do condemn it, though; we do justify it. Therefore I am saying, stop for the time being condemning it or justifying it.


Now, if you want to stop violence, if you want to stop wars, how much vitality, how much of yourself, do you give to it? Isn't it important to you that your children are killed, that your sons go into the army where they are bullied and butchered? Don't you care? My God, if that doesn't interest you, what does? Guarding your money? Having a good time? Taking drugs? Don't you see that this violence in yourself is destroying your children? Or do you see it only as some abstraction?


All right then, if you are interested, attend with all your heart and mind to find out. Don't just sit back and say, `Well, tell us all about it'. I point out to you that you cannot look at anger nor at violence with eyes that condemn or justify and that if this violence is not a burning problem to you, you cannot put those two things away. So first you have to learn; you have to learn how to look at anger, how to look at your husband, your wife, your children; you have to listen to the politician, you have to learn why you are not objective, why you condemn or justify. You have to learn that you condemn and justify because it is part of the social structure you live in, your conditioning as a German or an Indian or a Negro or an American or whatever you happen to have been born, with all the dulling of the mind that this conditioning results in. To learn, to discover, something fundamental you must have the capacity to go deeply. If you have a blunt instrument, a dull instrument, you cannot go deeply. So what we are doing is sharpening the instrument, which is the mind - the mind which has been made dull by all this justifying and condemning. You can penetrate deeply only if your mind is as sharp as a needle and as strong as a diamond.


It is no good just sitting back and asking, `How am I to get such a mind?' You have to want it as you want your next meal, and to have it you must see that what makes your mind dull and stupid is this sense of invulnerability which has built walls round itself and which is part of this condemnation and justification. If the mind can be rid of that, then you can look, study, penetrate, and perhaps come to a state that is totally aware of the whole problem.


So let us come back to the central issue - is it possible to eradicate violence in ourselves? It is a form of violence to say, `You haven't changed, why haven't you?' I am not doing that. It doesn't mean a thing to me to convince you of anything. It is your life, not my life. The way you live is your affair. I am asking whether it is possible for a human being living psychologically in any society to clear violence from himself inwardly? If it is, the very process will produce a different way of living in this world.


Most of us have accepted violence as a way of life. Two dreadful wars have taught us nothing except to build more and more barriers between human beings that is, between you and me. But for those of us who want to be rid of violence, how is it to be done? I do not think anything is going to be achieved through analysis, either by ourselves or by a professional. We might be able to modify ourselves slightly, live a little more quietly with a little more affection, but in itself it will not give total perception. But I must know how to analyse which means that in the process of analysis my mind becomes extraordinarily sharp, and it is that quality of sharpness, of attention, of seriousness, which will give total perception. One hasn't the eyes to see the whole thing at a glance; this clarity of the eye is possible only if one can see the details, then jump.


Some of us, in order to rid ourselves of violence, have used a concept, an ideal, called non-violence, and we think by having an ideal of the opposite to violence, non-violence, we can get rid of the fact, the actual - but we cannot. We have had ideals without number, all the sacred books are full of them, yet we are still violent - so why not deal with violence itself and forget the word altogether?


If you want to understand the actual you must give your whole attention, all your energy, to it. That attention and energy are distracted when you create a fictitious, ideal world. So can you completely banish the ideal? The man who is really serious, with the urge to find out what truth is, what love is, has no concept at all. He lives only in what is.


To investigate the fact of your own anger you must pass no judgement on it, for the moment you conceive of its opposite you condemn it and therefore you cannot see it as it is. When you say you dislike or hate someone that is a fact, although it sounds terrible. If you look at it, go into it completely, it ceases, but if you say, `I must not hate; I must have love in my heart', then you are living in a hypocritical world with double standards. To live completely, fully, in the moment is to live with what is, the actual, without any sense of condemnation or justification - then you understand it so totally that you are finished with it. When you see clearly the problem is solved.


But can you see the face of violence clearly - the face of violence not only outside you but inside you, which means that you are totally free from violence because you have not admitted ideology through which to get rid of it? This requires very deep meditation not just a verbal agreement or disagreement.


You have now read a series of statements but have you really understood? Your conditioned mind, your way of life, the whole structure of the society in which you live, prevent you from looking at a fact and being entirely free from it immediately. You say, `I will think about it; I will consider whether it is possible to be free from violence or not. I will try to be free.' That is one of the most dreadful statements you can make, `I will try'. There is no trying, no doing your best. Either you do it or you don't do it. You are admitting time while the house is burning. The house is burning as a result of the violence throughout the world and in yourself and you say, `Let me think about it. Which ideology is best to put out the fire?' When the house is on fire, do you argue about the colour of the hair of the man who brings the water? 

Sumber: http://www.jkrishnamurti.org/

Thursday, December 8, 2016

Mayoritas (Majority)


In matters of conscience, the law of the majority has no place. 
—Mahatma Gandhi (1869–1948), The Anthropology of Morality in Melanesia and Beyond, Anthropology and Cultural History in Asia and the Indo-Pacific


Perangko Mahatma Gandhi, Uni Sovyet, 1969. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
.

Wednesday, December 7, 2016

Minoritas (Minority)


Even if you are a minority of one, the truth is the truth.

—Mahatma Gandhi (1869–1948)

Sumber gambar: Wikimedia Commons

Tuesday, December 6, 2016

Permaafan (Forgiveness)




“Yang udah, ya udah.” 
—Iwan Esjepe

#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Sunday, December 4, 2016

Rukun dan Damai (Peaceful)




“100 Soekarno tak akan mampu mengubah negeri ini jika kerjamu ribut melulu.”
—Iwan Esjepe


#iwanesjepe #wordartist #esjepequote