Tuesday, December 5, 2017

Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka



“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas.” —Mochtar Lubis (1922–2004), Manusia Indonesia, Yayasan Idayu, 1978

Menjauhi berlebih
Hari ini, ketika nilai-nilai kebaikan dirasa semakin memudar, ingatan saya melayang ke tahun-tahun tujuhpuluhan saat saya baru menapaki karier dan bekerja sebagai desainer independen. Saya bersyukur telah dipertemukan dengan seorang klien yang kesahajaan dan etos kerjanya telah begitu menyentuh saya. Ia, yang usianya sepantaran ayah saya pada waktu itu adalah salah seorang direktur sekaligus pemilik sebuah perusahaan industri cukup besar dengan lingkup pasar nasional.

Sebagai klien sebetulnya ia berhak meminta saya datang ke kantornya untuk mempresentasikan hasil rancangan saya. Tapi, justru ia yang selalu datang ke tempat kos saya, baik untuk menginformasikan ringkasan proyeknya yang akan datang, atau menyampaikan revisi atas hasil rancangan saya. Terkadang bahkan sekadar mengantar imbalan atas jasa saya! Sepertinya ada pengertian—yang tak pernah diutarakannya—bahwa ia yang mobilitasnya lebih tinggilah yang semestinya berkunjung, bukan sebaliknya.

Ia selalu berkunjung pada sore hari selepas jam kerja, dengan berkendara helicak atau bajaj. Dengan pakaian sangat sederhana; atasan berlengan pendek polos pucat, dan hanya beralaskan sandal. Hanya sekali waktu saja ia terlihat diantar supirnya langsung dari kantor, itu pun karena sedang bergegas.  

Pada pertengahan 1980-an, saat berkesempatan mengunjungi rumahnya di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan isterinya yang juga bersahaja dan halus tutur katanya. Rumahnya tampak biasa-biasa saja, tapi teratur rapi dan bersih sekali. Tak ada tanda-tanda kemewahan dan pemanjaan diri pada perabotnya. Sungguh saya menaruh hormat terhadap mereka. Nilai-nilai kehidupan yang mengejawantah dalam kehidupan mereka nyaris tak saya jumpai lagi di kota-kota besar seperti Jakarta ini. Ekspresi kesederhanaan yang hanya mungkin lahir dari batin yang rendah hati alami. Mengenangnya kembali, mengingatkan saya kepada ujaran LaoTzu (604 SM–531 SM):

”Orang bijak menghindari kelebihan, pemborosan, dan pemanjaan diri.”

Menempatkan diri pada posisi rendah
Tiga dekade kemudian, saat karakter bangsa terperosok ke ambang darurat, ternyata saya masih bisa menjumpai seseorang dengan nilai-nilai esensial serupa pada dirinya. Saya tak mengenalnya langsung. Tapi dia Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-7. Jadi ada banyak kisah mengenai diri dan kehidupannya bisa dijumpai dan dibaca.

Jokowi yang lahir di tengah keluarga sederhana, tumbuh tegar dalam tempaan kesulitan hidup yang dialaminya. Sejak kecil ia sudah mesti berjualan, mengojek payung, atau jadi kuli panggul demi memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajannya. Ia mengawali pendidikan formalnya di sebuah sekolah untuk kalangan menengah ke bawah. Saat teman-temannya bersepeda ke sekolah, ia harus berjalan kaki. Dan dengan kemahirannya bertukang—yang dipelajarinya dari sang ayah—pada usianya yang ke-12 ia telah menjadi tukang penggergaji kayu.

Tak seperti kacang lupa pada kulitnya, setelah menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal dengan pendekatannya yang “memanusiakan manusia” (Jawa: nguwongke wong, ngemong). Penghayatannya atas nilai-nilai kemanusiaan ia terapkan saat harus merelokasi ratusan pedagang kaki lima dari Banjarsari ke Notoharjo. Upaya relokasi ini membuahkan penolakan keras. Ia lantas memanggil seluruh pemegang lapak untuk bersantap bersama. Setidaknya sebanyak 54 kali; makan pagi, siang, maupun malam. Acara makan pertama hingga pertengahan tak menyinggung sedikit pun soal relokasi. Sekadar makan bersama. Para pedagang kaki lima itu dibuatnya bingung, karena sejak awal hingga akhir Jokowi tak membicarakan kebijakan relokasi sama sekali. Topik itu baru disentuhnya pada makan bersama edisi ke-54. Kepada mereka, Jokowi menyampaikan sejumlah kebijakan pendukung yang telah disiapkannya. Misalnya, mengenai pemberian sejumlah fasilitas di kios baru, pembukaan akses transportasi umum, hingga publikasi keberadaan kios baru ke masyarakat luas. Akhirnya Jokowi berhasil merelokasi mereka.

Sebagai Gubernur DKI Jakarta, dengan naturnya yang merakyat dan tak berjarak, Jokowi terkadang bisa dijumpai melenggang santai dan tak canggung di salah satu taman hijau. Bergerak bebas tanpa pengawalan, berbaur dengan publik yang sedang menikmati musik orkestra (2014). Ia juga pernah tertangkap kamera sedang menumpang sepeda motor warga (ojek) akibat terperangkap kemacetan (2012). Kebiasaannya blusukan pun berlanjut hingga di Jakarta, bahkan setelah menjadi Presiden RI. Ke pasar-pasar, kampung padat penduduk, daerah bencana, lokasi pengungsian, atau berdialog dengan warga pedalaman, dan melakukan inspeksi mendadak ke tempat-tempat pelayanan publik. Nyaris tak terhitung banyaknya daerah di Indonesia yang telah dikunjunginya; Maluku Utara; Kupang Barat, NTT; Banjarbaru, Kalimantan Selatan; Aceh; Papua Barat, dll.

Pesan-pesan kesederhanaan acap kali dilayangkannya saat Jokowi telah menjadi orang nomer satu di negeri ini. Tak enggan ia mengundang masuk para pedagang kaki lima ke istana dan mengajak menteri-menterinya menikmati hidangan angkringan seperti nasi goreng, sate, bakso, atau tauge goreng. Bahkan pada malam tahun baru ada penjaja nasi goreng yang diundangnya masuk ke Istana Bogor. 

1. Menjauhi berlebih, demi jalan kehidupan yang lebih bebas.

Presiden Joko Widodo, dengan mengenakan kemeja putih dan kain sarung tanpa alas kaki, duduk santai menikmati terbitnya matahari pertama pada 1 Januari 2016 di dermaga pantai Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat.

Foto: Agus Suparto, Istana Presiden.

 Dari koki istana, Tri Supriharjo, yang diboyongnya dari Solo, diperoleh kisah kebiasaan makan Jokowi yang jauh dari mewah. Makanan sehari-harinya  tetap makanan rumahan khas Indonesia, seperti sop ayam, sayur bening bayam, tumis pepaya muda, tumis oseng-oseng tempe, mie ketoprak, soto kuning, tempe tahu bacem, dan teri medan goreng. Itu pun diambilnya sendiri dari sebuah konter, tidak minta disediakan di meja makan. Camilannya jagung rebus, singkong goreng, lento, dan bakwan jagung atau bakwan sayur. Dan untuk sarapan paginya setiap hari, jamu serta teh pahit. Yang diminumnya pakai cangkir kaleng jadul (cangkir blirik).

Hidup sederhana bisa jadi merupakan kewajaran oleh sebab perkara nasib, tapi tetap sederhana ketika telah menjadi Wali Kota, lalu Gubernur, dan kemudian Presiden adalah sesuatu yang tidak biasa. Hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah “selesai dengan dirinya”. Di jenjang tertinggi itu Jokowi tetap menempatkan dirinya pada posisi rendah, demi jalan kehidupan yang lebih bebas, berintegritas, dan tak koruptif. Keteladanannya ini sesungguhnya adalah “pencapaian” tertingginya, dan menjadi tolok ukur serta kunci utama membuka gerbang Revolusi Mental.

Membangun jiwa merdeka

“Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” —Soekarno (1901–1970), pada Peringatan Hari Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1956

Tujuh dekade setelah bangsa kita merdeka, kita masih harus melakukan revolusi. Bukan lagi dengan mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa. Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara tak sekadar fisiknya, juga jiwanya.

Ide ini yang menginspirasi digaungkannya kembali gerakan Revolusi Mental oleh Jokowi. Menurutnya, jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, yang bebas meraih kemajuan. Jiwa merdeka yang disebutnya positivisme itu, dalam praktiknya adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Berubah dari kebiasaan buruk seperti suka korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak disiplin, etos kerja tidak baik, yang membawa akibat pada bobroknya birokrasi. Menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno). Pembangunan karakter ini dijalankannya serentak dengan pembangunan infrastruktur, terutama di daerah tertinggal.  


2. Membangun jiwa serentak dengan fisik.

Presiden Joko Widodo bersiap menjajal satu ruas jalan Trans Papua di Danau Habema, Jayawijaya, 10 Mei 2017. Dengan motor trail, ia ingin merasakan sendiri sulitnya medan pembangunan di Papua. Pantauannya ini menimbulkan gagasan agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPera) bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada awal pembangunan. Dengan bergotong royong, kedua instansi pemerintah ini bisa mempercepat penyelesaian proyek Trans Papua.

Foto: Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
  
Dalam kunjungan kerja ke Brebes, 11 April 2016, Presiden meluncurkan Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat di Desa Larangan (Gb. 3). Program ini merupakan solusi untuk berbagai persoalan dalam proses pembangunan ekonomi di desa yang diakibatkan oleh ketidaktepatan model pendekatan dan kebijakan di masa lalu. Program ini juga merupakan perwujudan Nawa Cita ketiga dan ketujuh, membangun Indonesia dari pinggiran dengan menguatkan daerah dan desa.[i]

Dewasa ini masih terlalu dini menilai keberhasilan atau kegagalan gerakan yang baru dicanangkan oleh Jokowi sejak masa kampanye Pilpres 2014 itu. Korea Selatan yang dinilai berhasil menjalankan gerakan Saemaul Undong[ii] itu pun telah menjalankannya sejak 1970. Gerakan ini telah mengubah mental orang Korea yang sebelumnya pesimis dan berpikiran negatif irasional, menjadi optimis dan positif rasional. Keberhasilannya ini menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pionir gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa, yang kemudian dirujuk oleh berbagai negara termasuk Indonesia.
3. Jiwa merdeka, bebas menempatkan diri.

Presiden Joko Widodo di tengah masyarakat desa Larangan, Brebes, 11 April 2016.

Sumber gambar: PresidenRI,go.id.

Memulai dari diri sendiri
Di beberapa daerah, ketiga nilai Revolusi Mental itu (mandiri, berkarakter, dan berdaya saing) sesungguhnya telah diterjemahkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk pengejawantahan dari pemahaman bahwa perubahan mendasar seyogyanya dimulai dari diri sendiri, dari keluarga, dan dari masyarakat.

Tengok kelompok masyarakat di Desa Pekon Gemahripah, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Lampung yang berhasil mengembangkan energi baru dari kotoran sapi, menggantikan peran gas. Atau di Kecamatan Teluk Meranti, Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau yang banyak ditumbuhi pohon bintaro. Berkat penelitian Prof. Budi Indra Setiawan dan rekan-rekannya dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 2010 biji bintaro (Cerbera manghas) dapat diubah menjadi salah satu alternatif energi masa depan, sebagai pengganti minyak tanah, briket, dan solar. Tentunya, penelitian ini tidak hanya untuk diterapkan di kawasan Semenanjung Kampar semata. Di berbagai pelosok Nusantara, ribuan bahkan jutaan pohon bintaro tumbuh liar dan tidak pernah dimanfaatkan.

Tidak sedikit daerah atau desa yang melakukan hal yang sama. Ini menggambarkan sebagian masyarakat yang optimis, berdaya saing, mandiri dan inovatif. Mentalitas dan cara berpikir yang menonjol adalah pertama, tak mau tergantung, kedua pantang menyerah terhadap keadaan, dan ketiga menganggap kendala sebagai peluang untuk maju dan berdaya saing.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, implementasi awal gerakan Saemaul Undong telah dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul melalui kerja sama antara Provinsi DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan pada 2008 silam. Hingga saat ini, program tersebut telah membawa keberhasilan dalam perbaikan infrastruktur desa, peningkatan pendapatan penduduk, penyediaan air bersih, dan peningkatan etos kerja warga desa.

Meraih masa depan
Seorang teman desainer, Singgih Susilo Kartono menjadi teladan bagaimana ia merevolusi dirinya. Ia memutuskan kembali menetap di desa kelahirannya Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Desain Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1994.

Besar keinginannya untuk bisa membidani lahirnya produk kayu karya Indonesia yang bisa menjadi ikon desain dunia. Singgih tak begitu peduli impiannya itu akan terwujud atau tidak, ia hanya berusaha merancang karya terbaiknya, dalam serba kesahajaan. Namun, akhirnya pada 2005 ia berhasil melahirkan radio kayu Magno yang kemudian mendunia (Gb. 4), meraih penghargaan dari sejumlah lembaga desain internasional, serta menjadi satu-satunya karya desainer Indonesia yang dikoleksi oleh Museum of Modern Art (MoMA), New York. Ia menjadi semakin yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.

4. Sosok berkualitas yang lahir dalam serba kesahajaan.

Radio Magno yang terbuat dari bahan kayu lokal itu seluruhnya dikerjakan dengan tangan (handcrafted). Dengan jumlah produksi yang dibatasi hanya 1.500 unit per tahun [85% di antaranya diekspor ke Australia, Asia Timur, Eropa, dan Amerika], perhatian pada kualitas bisa sepenuhnya dicurahkan.
 Tak ingin berpuas diri pada kesuksesan Magno, sejak 2015 Singgih menginisiasi gerakan global yang dinamainya Spedagi, berasal dari kata “sepeda pagi” (bersepeda di pagi hari) sebuah kegiatan bersepeda dengan rute mengelilingi Kandangan dan desa-desa sekitarnya-. Slogannya It’s time back to village.

Spedagi menggunakan sepeda bambu (Gb. 5) yang dikendarai lintas desa untuk menarik sumber daya eksternal mau datang dan tinggal bersama penduduk desa. Program ini diharapkan akan membantu memenuhi desa dengan para pemikir yang sempat “hilang” akibat arus hijrah (brain drain) dari desa ke kota. Untuk memfasilitasi kegiatan ini, Singgih bekerja sama dengan Froghouse membangun rumah tinggal bagi peserta Spedagi dan juga untuk memprakarsai proyek Revitalisasi Desa dari aspek sosial dan budaya. 

5. Berkepribadian dalam kesahajaannya.

Salah satu model Spedagi rancangan Singgih Susilo Kartono.

Jokowi, yang rupanya menangkap gagasan besar di balik Spedagi pun tergugah untuk memiliki sepeda bambu buatan Singgih ini. Jiwa merdeka itu melebur dengan dan dalam kesahajaan.

Kring... kring...!

#JokowiUntukIndonesia


***


———
[i] Nawa Cita (Sanskerta: nawa = sembilan,  cita = harapan, agenda, keinginan) adalah program yang digagas oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden Joko Widodo/Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno). 

Sembilan program tersebut sebagaimana disarikan dari situs kpu.go.id:

• Menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman pada seluruh warganya, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu berlandaskan kepentingan nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

• Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas kepada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

• Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

• Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

• Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ”Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ”Indonesia Kerja” dan ”Indonesia Sejahtera”, dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.

• Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

• Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

• Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

9. Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

[ii] Hingga akhir 1960-an, sebagian besar warga Korea Selatan masih hidup dalam kemiskinan dengan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang semakin lebar. Kondisi ini membuat pemerintah Korea Selatan menginisiasi gerakan Saemaul Undong, yaitu pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat dengan penekanan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Keberhasilan gerakan ini dapat dilihat dari adanya peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga secara drastis dari 825 dolar menjadi 4.602 dolar dalam kurun waktu 10 tahun.
   

———
Referensi

Jokowi Dibenci, Jokowi Dicinta... Kompas. com, indonesiasatu.kompas.com.

Makna Jokowi sebagai presiden Indonesia. BBC Indonesia, bbc.com.

Pesan Kesederhanaan Jokowi Lewat Nasi Goreng Kaki Lima. detikNews, news.detik.com.

Pengakuan Mengejutkan Koki Istana tentang Jokowi. YouTube, youtu.be/i26Q9cEvCig.

Sudah Blusukan Kemana Saja Jokowi Selama 3 Tahun Menjadi Presiden? Peta Ini Jawabannya. Intisari Online, intisari.grid.id.

Revolusi Mental: Membangun Jiwa Merdeka Menuju Bangsa Besar. Tim PKP-Kemenkominfo, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

”Nawa Cita”, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK. Kompas.com, kompas.com.

Saemaul Undong Jadi Contoh Strategi Pembangunan Pedesaan. Universitas Gajah Mada, ugm.ac.id.

Bintaro Bisa Jadi Pabrik Minyak Lho... Kompas,com, sains.kompas.com.

Inisiatif Membangun Desa dalam Aksi Sinergis. PresidenRI.go.id, presidenri.go.id.

Hanny Kardinata. Perjalanan Kembali (3). Seword, seword.com.



———
Sila baca tulisan terkait mengenai terjadinya gerakan global kembali ke desa pada Perjalanan Kembali (1), (2), (3), dan (4).

Tulisan lainnya klik di sini.

Sunday, December 3, 2017

Memahat Indonesia dengan Cinta

 
“Isteriku terjatuh dan terluka parah saat melintasi bukit terjal ini. Ia berniat mengantar air minum untukku. Aku bekerja di balik bukit. Sejak itu, aku memutuskan untuk membuat jalan pintas dengan cara membelah bukit ini. Cintaku kepada isteriku mengobarkan api semangatku. Tapi keinginan melihat ribuan penduduk desa melintasi bukit kapan jua mereka mau, membuatku sanggup bekerja selama bertahun-tahun tanpa takut dan khawatir.” —Dashrath Manjhi

Untukmu
Orang-orang tertawa dan mengolok-oloknya, bahkan menganggapnya gila. Tapi dia hanya melanjutkan pekerjaannya. Seorang diri. Sepanjang 22 tahun, siang dan malam. Mendaki dan menuruni bukit, dan membelahnya dengan cara memahatnya. Menantang alam, hanya dengan palu dan pahat.

Dashrath Manjhi (1934–2007), seorang petani pekerja yang miskin, sendirian membelah bukit-bukit batu Gehlaur, Bihar, India agar desanya memiliki akses lebih mudah ke fasilitas medis. Selama ini, demi memperoleh perawatan di kota terdekat, penduduk desa harus menempuh medan yang amat sulit dan berbahaya sepanjang puluhan kilometer. Pada 1959, istri Manjhi, Falguni Devi meninggal dalam perjalanan ke kota, karena tidak cepat mendapat pertolongan setelah mengalami kecelakaan di bukit itu. Rasa cinta kepada isterinya telah membekalinya kekuatan untuk memulai pekerjaan muskil itu. Walau isterinya tak lagi bisa menikmati hasil jerih payahnya. Manjhi ingin memastikan warga desanya tidak akan mengalami nasib yang sama sebagaimana isterinya. Dengan jalan setapaknya itu ia bermaksud memperpendek jarak dari 55 km menjadi hanya 15 km. Manjhi memahat bukit dari tahun 1960 sampai 1982 hingga jalan sepanjang 110 m, selebar 9,1 m, dan sedalam 7,6 m itu selesai.

Meninggal pada 2007, Manjhi menerima penghormatan melalui sebuah upacara pemakaman kenegaraan. Dewasa ini penduduk Bihar tak bisa lain kecuali bersyukur atas apa yang telah dikerjakannya. Pada tahun 2006, pemerintah Bihar mengusulkan agar ia memperoleh penghargaan Padma Shri dalam sektor pelayanan sosial. Namanya juga diusulkan sebagai nama sebuah rumah sakit.

Ketika sebuah film mengenai kisah kehidupannya dirancang, ia sedang berada di ranjang kematiannya. Manjhi memberikan cap jempolnya pada sebuah surat kesepakatan, sebagai tanda pemberian hak eksklusif pembuatan film tentang dirinya. Pada 2015, film Manjhi: The Mountain Man dirilis, membawa pesan tentang kekuatan Cinta dan kekukuhan jiwa.
1. Jalan Dashrath Manjhi yang kini menjadi jalan kehidupan bagi ribuan warga Bihar.

Manjhi menantang keangkuhan bukit batu Gehlaur dengan Cinta. Sesaat sebelum mulai membelahnya, Manjhi menatap ke langit sambil membisikkan, “tohre Liye” atau “Untukmu”.

Sumber gambar: IT, indiatimes.com.

Demi kehidupan

“Tiap orang didesain untuk melakukan pekerjaan tertentu, gairah atas kerjanya itu ada di hatinya.” —Jalaluddin Rumi (1207–1273)

Lihatlah keluar jendela. Pada burung-burung berkelana di fajar pagi merekah; dengan suka cita, demi sesuap biji-bijian atau serangga bagi anak-anaknya, hingga petang. Rasakan hembusan angin lembut di dedaunan yang sedang melebat. Atau pandanglah kanak-kanak berkejaran riang tak kenal lelah di depan rumah. Dan tubuh sehat kita ini kala terbangun dari tidur malam yang lelap.

Perhatikan bagaimana Alam Semesta bekerja selaras hukum yang ditentukan baginya. Matahari, sumber energi seluruh kehidupan, yang senantiasa bergerak di garis edarnya. Bumi, di mana kehidupan bergulir, yang terus bergerak melintasi orbitnya mengelilingi Matahari. Yang berputar pula pada porosnya, demi menghadirkan siang dan malam. Tidakkah kita merasakan kehadiran energi Cinta di dalam semua yang mengada itu?

Semakin kita menyadari apa yang mendasari terjadinya Alam Semesta semakin kita takjub dengan keindahan desainnya.

Sebuah atom adalah rongga kosong di mana keajaiban terbentang. Fisika nuklir menyatakan bahwa Alam Semesta tak mengandung materi setitik pun, bahkan di bagian terkecil atom yang paling kecil sekali pun. Melainkan merupakan susunan energi beserta kekuatannya yang tersusun harmonis, di mana tanpanya Alam Semesta tidak akan ada. Di tengah rongga kosong yang membentuk sebuah atom, mengelompok partikel berukuran sangat kecil di mana mengorbit sekawanan partikel yang bahkan lebih kecil lagi di sekelilingnya. Pergerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga mereka berada serentak di mana-mana, menciptakan bola yang tampil “padat”. Maka, apa yang disebut partikel itu sesungguhnya bukan entitas padat, namun konstruksi dari berbagai jenis quark, yang oleh para fisikawan didefinisikan sebagai titik-titik energi yang bergerak cepat.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai materi dasar atau partikel dasar itu sebenarnya tidak ada. Segala sesuatu yang kita lihat dengar, atau sentuh, bahkan Bumi tempat kita tinggal ini, hanyalah bangunan pola-pola energi yang diatur oleh prinsip-prinsip harmonisasi yang sekaligus mengungkap adanya susunan mendasar dari sebuah Kecerdasan yang luar biasa. Jika salah satu saja prinsip keselarasannya tiada, atau bertentangan dengan pola keseluruhannya, Alam Semesta tidak memiliki landasan untuk eksis, dan karenanya tidak akan ada.

Tapi Alam Semesta memang ada! Yang adalah produk dari ‘Kecerdasan’ luar biasa bersama ’Spirit’ penyelarasnya, yang boleh jadi disebut ‘Cinta’. Di luarnya tak ada apa-apa. Satu-satunya bangun dasar yang ada di Alam Semesta adalah Kecerdasan beserta Spirit harmonisasinya, yaitu Cinta. Bila Alam Semesta mengada karena Cinta, maka untuk memahami diri kita dengan benar, kita juga semestinya bisa melihatnya dalam cahaya yang sama. Tanpa Cinta, Alam Semesta sama sekali tidak akan ada. Kita juga tidak pernah eksis tanpa Cinta.

Hukum Alam Semesta adalah keseimbangan, semua berasal dari keseimbangan, yang berdasarkan pada prinsip Cinta, yaitu ‘memberi dan diberi’. Dengan mencintai laut, nelayan akan mengenal lebih baik kekayaan laut yang telah memberinya kehidupan. Mencintainya akan membuat nelayan memperlakukan laut dengan rasa hormat, menghargai, menjaga, dan memeliharanya. Laut, bagai tanah bagi petani, adalah hakikat kehidupan nelayan. Seorang petani yang tidak menghayati tanah atau lahannya dengan Cinta, sesungguhnya bukanlah petani sejati.

Ada dimensi spiritual di dalam setiap pekerjaan.

Kala kita menyirami tanaman di kebun, kita berpartisipasi dalam penciptaan. Ketika kita mencat ulang dinding rumah kita, kita membawa keteraturan baru di lingkungan kita. Saat kita memperbaiki perabot rumah yang rusak, kita memperpanjang usianya, serta memperbarui kehidupannya. Ketika kita menyentuh apa saja dengan respek, menjaga dan merawatnya, kita turut mengontrol keseimbangan Alam dan menjadi bagian dari kelestarian Semesta.

Untuk rakyatku

“Kerjakan dengan bahasa Cinta, karena itu yang diinginkan setiap orang terhadap dirinya.” —Joko Widodo

Demikian pula halnya seorang pemimpin sejati, yang bekerja dengan Cinta sebagai bahan bakarnya. Dengan memandang Cinta dan prinsip spiritualitas sebagai dasar keputusan moralnya. Bisa menempatkan dirinya sebagai pelayan, memimpin dengan prinsip servant leadership. Menekankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan, serta memiliki empati mendalam dengan senantiasa berjalan memakai sepatu orang lain.

Sebagai pemimpin bangsa, Jokowi pun menunaikan kepemimpinannya berdasar spiritualitas; dengan rasa hormat, Cinta, dan empati pada rakyatnya, yang dibalut dengan integritas diri (kebaikan, kejujuran, kesahajaan). Empati kepada warganya yang kurang beruntung dinyatakannya dengan meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang bisa digunakan untuk meringankan beban perawatan medis, dan agar mereka yang putus sekolah dapat melanjutkannya kembali (2014). KIP memastikan seluruh anak usia sekolah (6–21 tahun) dari keluarga kurang mampu dapat terdaftar sebagai penerima bantuan tunai pendidikan sampai lulus SMA/SMK/MA).

Dan untuk mengurangi beban masyarakat sangat miskin, pemerintahan Jokowi juga menggulirkan Program Keluarga Harapan (PKH) guna memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), yang sebelumnya berbasis rumah tangga berubah menjadi berbasis keluarga (2014). Dengan adanya perubahan ini, seluruh keluarga di dalam sebuah rumah tangga berhak menerima bantuan tunai. PKH diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi, sehingga generasi berikut bisa keluar dari perangkap kemiskinan.

Kepedulian Jokowi kepada kaum jelata juga tercermin pada kunjungannya ke berbagai wilayah yang selama ini terpinggirkan, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara, Papua, dan lainnya. Melalui percakapan langsung dengan masyarakat setempat, Jokowi berniat “mengalami” sendiri apa yang dirasakan oleh warganya, agar kebijakan yang akan dibuatnya selaras dengan kebutuhan. Keterlibatan intim sedemikian ini dimungkinkan karena jiwanya yang merdeka bebas menempatkan dirinya di kalangan mana saja [Baca: Keteladanan Kesederhaan Membangun Jiwa Merdeka].

Demi menopang keseimbangan kehidupan bagi semua (equal benefits to all), ia terus membangun jalan di pelosok-pelosok Tanah Air. Termasuk di antaranya, menghubungkan daerah-daerah terpencil di Papua Barat melalui Trans Papua sepanjang 4.300 kilometer yang mulai dibangun besar-besaran sejak 2014. Dengan banyaknya dana yang tersedia setelah Jokowi memangkas 80% subsidi bahan bakar minyak (2015), juga dari penerimaan pajak melalui program tax amnesty (2016–2017), pemerintahannya kini leluasa menghadirkan pembangunan di sejumlah kawasan terdepan Indonesia (desentralisasi asimetris). 

2. Jalan Trans Papua.

Cinta kepada tanah air dan rakyatnya mewujud dalam niat membesut kehidupan.

Sumber gambar: Dok. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kebanggaan kepada negerinya terusik ketika Jokowi menyaksikan sendiri sejumlah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang terpuruk kondisinya di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia. Tiga buah PLBN pengganti yang jauh lebih megah beserta sarana-prasarananya kemudian dibangunnya dalam waktu dua tahun (2016–2017), ditambah dengan tiga PLBN di Nusa Tenggara Timur, dan satu di Papua. Dan demi percepatan program elektrifikasi 35.000 MW, ia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Mobile Power Plant (MPP) serentak di delapan daerah; di Lombok, Bangka, Lampung, Nias, Pontianak, Riau, Belitung, dan Medan sebesar 500 MW, hanya dalam waktu enam bulan (2016).

Sebagai perwujudan cita-citanya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pemerintahan Jokowi memperkuat sektor kemaritiman dengan cara memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan, serta membangun sarana-prasarana penunjangnya sejak dari Sabang hingga ke Merauke. Dengan membangun bandara di pulau-pulau terluar, seperti bandara Miangas, di Sulawesi Utara, terminal bandara Tanjung Api Tojo Una-una di Ampena, dan terminal bandara Kasiguncu di Poso (ketiganya diresmikan pada 2016), serta bandara Maratua, di Kalimantan Timur (2017). Termasuk mewujudkan Tol Laut yang merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di seluruh Nusantara (diluncurkan pada 2015). Terjalinnya hubungan antar-pelabuhan ini akan menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok-pelosok, dan membawa dampak pada menurunnya disparitas harga yang tinggi antara wilayah Barat dan Timur.

Dengan Cinta, si tukang kayu itu terus “memahat Indonesia”.

Membandingkan performa sejumlah pemimpin Asia-Australia, pada tutup tahun 2016 Bloomberg menilai Jokowi sebagai satu-satunya pemimpin yang memiliki performa positif.[1] Penilaian itu diberikan atas dasar kemampuan pemerintahan Jokowi memperkuat nilai tukar hingga 2,41 %, menjaga pertumbuhan ekonomi (GDP) tetap positif (5,02 % skala tahun ke tahun), dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 %). Jokowi juga dianggap mampu menegaskan kewenangannya atas lembaga-lembaga politik di Indonesia pada 2016 dengan menguasai lebih dari dua pertiga kursi di parlemen—dukungan yang digunakannya untuk menggulirkan undang-undang tax amnesty demi membiayai program pembangunan sarana-prasarana di berbagai wilayah.[i]

Kurang lebih sebulan kemudian, yaitu pada 9 Februari 2017, PricewaterhouseCoopers (PwC) pun merilis ramalannya mengenai negara-negara dengan ekonomi terkuat di dunia pada 2030 (the most powerful economies in the world by 2030). Dengan memproyeksikan produk domestik bruto (GDP) global dengan paritas daya beli (PPP) masing-masing negara[ii], PwC menempatkan Indonesia di urutan kelima, berturut-turut di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Jepang; di atas Rusia, Jerman, Brasil, Meksiko, Inggris, dan 22 negara lainnya.

“Kerja adalah Cinta yang dinyatakan. Bila kau tak bisa bekerja dengan Cinta, melainkan dengan rasa tak suka, maka tinggalkanlah pekerjaanmu, dan duduk saja sambil menerima sedekah dari orang-orang yang bekerja dengan suka cita.” —Kahlil Gibran (1883–1931)

#JokowiUntukIndonesia


***


———
[i] Untuk menentukan peringkat pemimpin terbaik se Asia-Australia, Bloomberg mendata delapan pemimpin: Presiden Tiongkok, XI Jinping; Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe; Perdana Menteri India, Narendra Modi; Presiden Korea Selatan, Park Geun-Hye; Presiden Indonesia, Joko Widodo; Presiden Filipina, Rodrigo Duterte; Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak; dan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull.

[ii] Purchasing power parity (PPP) digunakan oleh para ahli ekonomi makro untuk menentukan produktivitas ekonomi dan standar kehidupan antar-negara dalam jangka waktu tertentu.


———
Referensi

Dashrath Manjhi: Some lesser known facts on the Mountain Man who worked for 22 years and carved a path through a mountain. India Today in Education, indiatoday.intoday.in/education.

Dashrath Manjhi. Wikipedia, id.wikipedia.org/wiki.

Rolf A. F. Witzsche. Without Love the Universe Would Not Exist. lovescapenovels.rolf-witzsche.com.

Hanny Kardinata. Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka. Seword, wp.me/p6Y2pM-wuQ.

Kartu Indonesia Pintar (KIP). TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), tnp2k.go.id.

Program Keluarga Harapan (PKH). TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), tnp2k.go.id.

Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Gas Mobile Power Plant Parit Baru 4×25 MW, di Mempawah, Kalimantan Barat, 18 Maret 2017. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id.

Selain Entikong, Ada 6 Pos Perbatasan Negara yang Dibangun Pemerintah. detikNews, news.detik.com.

Who’s Had the Worst Year? How Asian Leaders Fared in 2016. Bloomberg, bloomberg.com.

A prediction: The world’s most powerful economies in 2030. World Economic Forum, weforum.org.


———
Tulisan lainnya klik di sini.




Saturday, July 8, 2017

Mengonstruksi Identitas Diri dengan Narasi


Mencari kebenaran lewat narasi

We touched each other more easily—just kissed or held hands or hugged each other, though—nothing more than that. We didn’t really talk much about being gay; most the time we just talked about ourselves.” —Sepenggal narasi Liza Winthrop, dalam novel Annie on My Mind, Nancy Garden, 1982

Liza Winthrop, mengenang perjumpaan pertamanya dengan Annie Kanyon suatu hari saat hujan deras di Metropolitan Museum of Art. Liza, 17 tahun, tinggal di lingkungan kelas atas Brooklyn Heights, sementara Annie yang seusia dengannya, tinggal di lingkungan kumuh di Manhattan. Liza belajar di sekolah swasta, Foster Academy dengan cita-cita bisa melanjutkan studinya ke MIT dan menjadi seorang arsitek. Annie pergi ke sekolah negeri dan berharap bisa kuliah di Universitas California, Berkeley untuk mengembangkan bakatnya sebagai penyanyi.

Meski latar belakang sosialnya berbeda, keduanya segera menjadi akrab. Menunggu hujan berhenti, mereka bercakap-cakap dengan berpura-pura memerankan sepasang ksatria yang bertunangan, seakan-akan dialognya berasal dari sebuah naskah yang ditulis khusus bagi mereka.

Namun peran yang mereka bawakan dalam dongeng itu kemudian berlanjut di keseharian mereka. Persahabatan Liza dan Annie bertumbuh seiring dengan adegan-adegan dramatis yang “disodorkan oleh naskah” itu, yang memungkinkan Liza mencermati perkembangan identitas seksualnya. Mereka terjalin intim dalam narasi fiksi yang mereka reka bersama, sampai tiba saatnya Annie menyangkalnya: “No, I don’t want to do that with you any more... I don’t want to pretend any more. You make me—want to be real.

Namun, saat Liza marah pada Annie, Annie berbalik kembali ke moda dongeng: “Maukah Putri Liza datang menumpang gerobak magis petani yang hina ini? Kami akan memperlihatkan kepadanya keajaiban kaum gipsi, burung camar, gua bersinar, dan Jembatan Triborouhg.” Kegusaran Liza pun mereda dan betapa leganya ia mengetahui bahwa “hubungan mereka baik-baik saja”. Realitas, tampaknya agak terlalu “keras” bagi keduanya dalam mengelola jalinan ketertarikan keduanya satu sama lain.

Begitu Liza mengucapkan kata-kata ”I think I love you” ke Annie, ia menyadari, “Aku mendengar sendiri diriku mengatakannya, seakan-akan aku ini orang lain, tapi saat ucapan itu keluar, aku tahu lebih dari yang kuketahui sebelumnya bahwa kata-kata itu benar adanya’. Kasih sayangnya terhadap Annie rupanya belum disadarinya sampai ia mengucapkan kata-kata itu; pernyataan cintanya kepada Annie itu lalu membangunkan identitasnya sebagai perempuan yang jatuh cinta kepada perempuan lain.

Liza berulang kali menimbang ucapannya itu: “Segera sesudahnya, tak terasa berat lagi mengatakannya—pada diriku sendiri, maksudku juga seterusnya kepada Annie—dan menerima kata-kata yang sama dari Annie, ‘It scares me, too, Annie... but not because I think it’s wrong or anything—at least I don’t think it’s that. It’s—it’s mostly because it’s so strong, the love and the friendship and every part of it.’”

Liburan Thanksgiving memberi kesempatan pada kedua anak perempuan itu untuk lebih dekat lagi dan menuntun kepada ciuman pertama mereka. Kepada Liza, Annie mengakui bahwa dia mengira dirinya gay. Liza pun menyadari bahwa meski pun dia selalu menganggap dirinya berbeda, tapi dia belum mengetahui orientasi seksualnya sampai ia jatuh cinta kepada Annie.

Ketika dua guru wanita Liza, Stevenson dan Widmer (yang tinggal bersama) pergi berlibur selama liburan musim semi, Liza menjadi relawan yang mengurusi rumah mereka. Kedua gadis itu tinggal bersama di rumah itu, namun dalam kejadian tak terduga, seorang administrator Foster menemukan keduanya bersama. Liza terpaksa menceritakan kepada keluarganya tentang hubungannya dengan Annie, dan kepala sekolahnya mengadakan pertemuan di antara dewan pengawas sekolah untuk mengeluarkan Liza. Ternyata dewan mendukung Liza dan mengizinkannya tetap bersekolah di situ, tapi kedua gurunya yang diketahui sebagai gay, dipecat.

Setelah awalnya kaget mengetahui gadis-gadis itu tinggal bersama di rumah mereka, kedua guru itu sangat mendukung dan berusaha meyakinkan Liza untuk tidak khawatir tentang pemecatan mereka. Namun munculnya sejumlah respons negatif terhadap dirinya, mendorong Liza akhirnya meninggalkan Annie. Kedua gadis itu berpisah dan masing-masing melanjutkan sekolahnya di negara bagian yang berjauhan. 


1. Desain sampul Annie on My Mind, edisi 1992.

Menurut Garden, perubahan desain sampul dari tahun ke tahun mencerminkan berlangsungnya perubahan pandangan terhadap insan gay. Ilustrasi sampul awal menggambarkan Annie, mengenakan jubah hitam, dan Liza, berdiri jauh dari Annie, di Esplanade, Brooklyn menghadap ke pelabuhan. Komentar Garden, “terlihat seolah-olah Annie sedang menukik ke arah Liza, seperti vampir yang akan menyerang. Meski sampul itu tak pernah digunakan, beberapa rancangan berikutnya pun gagal menunjukkan gadis-gadis itu dalam relasinya.” Garden lebih menyukai sampul yang dirilis oleh Farrar, Straus and Giroux pada 1992, yang telah digunakan kembali dalam terbitan selanjutnya, menunjukkan ”kedua gadis itu benar-benar saling berhubungan satu sama lain,” demikian Garden.

Sumber gambar: Wikipedia.


Menerima kebenaran, membebaskan

To me, it’s not who you love… a man, a woman, what have you… it’s the fact that you love. That is all that truly matters.” —Al Pacino

Sesudah membaca surat dari Annie, yang mengungkapkan pengertiannya bila Liza merasa tak nyaman dan tak ingin menemuinya lagi, Liza pun mulai mengevaluasi kembali identitasnya: “Betul bahwa aku tak sepenuhnya sadar memikirkan untuk menjadi gay. Tapi juga benar jika aku memang gay, keduanya tak saja menjelaskan apa yang terjadi selama ini antara aku dan Annie serta perasaanku kepadanya, namun juga banyak hal dalam hidupku sebelum aku mengenalnya—segala hal yang tak pernah kupikirkan lebih jauh sebelumnya.”

Memikirkan untuk menjadi gay, menceritakan kisah ketertarikannya pada Annie, dan menulis surat untuk Annie (yang tak pernah dikirimkannya) menolong Liza “menyelesaikan banyak hal” dalam hidupnya; dengan kata lain, keterikatannya pada aktivitas dikursusnya telah membantunya mengonstruksi identitasnya sebagai lesbian.

Tapi pelabelan itu dinilainya tak sedap. Liza tak pernah nyaman dengan istilah “gay” dan “lesbian”. Dalam sebuah perbincangan dengan Annie, Liza mengatakan,  Annie, I—I love you, it’s crazy, but thats the one thing I am sure of. Maybe—well, maybe the other, being gay, having that—that label, just takes getting used to, but, Annie, I do love you.” Jelas, aktivitas bercakap-cakap dan menulis merupakan komponen penting pada pengembangan identitas Liza; ia membangun dan memahami identitas dirinya melalui tulisan-tulisannya dan dalam percakapannya dengan Annie. Ketaknyamanannya dengan label itu bisa jadi merupakan pemahaman yang tak diartikulasikannya bahwa mencintai Annie tak harus membuatnya menjadi gay, mungkin menyebabkannya jadi berbeda saja.

Kegandrungan Liza pada cerita Plato mengenai sepasang kekasih yang sebenarnya adalah dua bagian dari orang yang sama, lebih jauh menjelaskan nilai-nilai yang dipercayainya ada pada kekuatan narasi dalam mengonstruksi identitas: “Aku mencintai kisah itu sejak pertama kali mendengarnya—di tahun-tahun awal aku bersekolah, kupikir—itu karena terasa adil, dan benar, juga bijaksana.” Pertalian antara narasi dan identitas menjadi semakin kuat dirasa ketika Annie dan Liza menemukan sebuah buku homoseksualitas tersembunyi di rumah kedua gurunya itu.

“Tidak baik bagi kita memiliki rasa takut terlihat membaca buku yang kita berhak membacanya... Liza, janganlah begitu. Jangan takut atau malu membeli buku, dan ketika kita membelinya, janganlah menaruhnya di tempat tersembunyi. Itu tidak jujur, tidak benar, dan adalah penyangkalan atas segala hal yang kita rasakan satu sama lain.”

Jelang akhir cerita, Liza menjadari dampak keengganannya mengontak Annie selama ini terhadap hubungan mereka: “Enam bulan berhenti menulis—itu sungguh terasa berbeda.” Perbedaannya tentu saja adalah pada stagnannya perkembangan identitas seksualnya. Pada saat diskursus tak lagi hadir, perkembangan identitas visualnya tinggallah statis. Ia insaf harus membangun kembali relasinya dengan Annie, dengan menulis atau bercakap-cakap. Tapi daripada menulis surat yang dirasanya cenderung fragmentaris, Liza memutuskan untuk menelepon Annie. Tak banyak kata mengalir dari keduanya, kecuali luapan perasaan dua insan yang bertaut kembali.

I—yes. Annie—sorry. I—I’m crying—it’s so good to hear your voice again.

I know, I’m crying, too.

Cerita ditutup dengan afirmasi keduanya yang berjanji akan terus saling mencintai.

Annie, Ms. Widmer was right. Remember—about the truth making one free? Annie—I’m free now. I love you, I love you so much!

Dan bisik Annie di kejauhan: “I love you too, Liza. Oh God, I love you, too!

 

2. Fragmen Phaedrus dalam gulungan papirus dari abad ke-2 M.

Sumber gambar: WikiCommons.

Menjadi utuh, sempurna
Sekilas balik ke narasi Liza Winthorp pada Annie on My Mind. Dalam gundah, suatu malam Liza beranjak ke ruang bawah rumahnya, ke rak buku di mana ayahnya menyimpan ensiklopedianya. Liza mencari arti kata ‘Homosexuality’, tapi hanya harus kecewa karena tak banyak memperoleh apa yang ia alami. Kisahnya:

“Yang paling mengejutkanku, adalah, dalam keseluruhan artikel panjang itu, kata ‘cinta’ tidak dipakai sekali pun. Itu membuatku gusar; sepertinya siapa pun yang menulis artikel itu tidak tahu bahwa insan gay benar-benar saling mencintai. Penulis ensiklopedia itu harus bepekara kepadaku, pikirku saat aku kembali tidur; aku bisa menceritakan sesuatu tentang cinta.”

Suatu hari, terbaring sakit di tempat tidurnya, pikiran Liza menerawang ke masa ia baru masuk sekolah: “Ada legenda Yunani—bukan, itu adalah sesuatu yang ditulis oleh Plato—tentang betapa sesungguhnya sepasang kekasih sejati merupakan dua bagian dari orang yang sama. Dtuturkan bahwa orang-orang berkelana mencari belahan jiwanya, dan ketika mereka menemukannya, demikianlah mereka menjadi utuh dan sempurna. Hal yang membuat aku memahaminya karena legenda itu mengisahkan bahwa pada awalnya semua orang adalah pasangan sejati, terjalin satu sama lain, di mana terkadang merupakan pria dan pria, beberapa di antaranya wanita dengan wanita, dan yang lain pria dengan wanita. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa semua pasangan ini berperang melawan para dewa, dan dewa, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka, memisahkan mereka semua menjadi dua bagian. Itulah sebabnya beberapa pasangan ada yang heteroseksual, dan ada pula yang homoseksual, wanita dan wanita, atau pria dan pria.”

Falsafah cinta Plato sebagaimana tertuang di dalam Phaedrus[i] dan Simposium[ii], digambarkan oleh Neel Burton, psikiatris, filosof, dan penulis sejumlah buku, demikian:

Tak seperti Aristoteles yang tak begitu tertarik mempercakapkan erôs (cinta erotik) dan lebih menyukai membahas philia (persahabatan), bagi Plato, persahabatan terbaik adalah yang terjalin di antara sepasang kekasih. Itu bagai philia yang lahir dari erôs, dan pada gilirannya kembali ke erôs demi untuk memperteguh dan mengembangkan pertemanan.

Sebagaimana halnya filsafat, tujuan erôs adalah demi melampaui keberadaan manusia, dengan menghubungkannya pada yang abadi (eternal) dan maha besar (infinite). Tidak hanya memperkuat dan mengembangkan persahabatan, philia juga mengubah hasrat memiliki menjadi gairah untuk berbagi, demi memperoleh pengertian yang lebih dalam atas diri, orang lain, dan Alam Semesta. Dengan kata lain, Philia mengubah erôs dari nafsu memiliki menjadi impuls pada filosofi.

Plato membedakan jenis cinta yang dapat menumbuhkan philia, dari jenis cinta dasar, erôs, yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang memberikan cintanya lebih kepada raga daripada ke jiwa. Alih-alih mendukung pencarian kebenaran (filosofi), jenis cinta dasar ini justru menghalanginya.

Walau gagasan ini disenandungkannya baik di dalam Phaedrus maupun Symposium, namun sementara di Phaedrus Plato menggarisbawahi hubungan cinta kepada yang ilahi, dan karenanya sampai kepada yang abadi dan tak terbatas, di dalam Symposium ia lebih menekankan pada relasinya ke filsafat, penjelajahan kebahagiaan, dan perenungan akan kebenaran.

Seperti banyak orang Yunani lain di era dan pada tataran sosial yang sama, Plato sangat tertarik pada gairah seks sesama jenis, yang bisa timbul di antara pria yang lebih tua dengan yang lebih muda—walau tak beralasan menganggap teori cintanya itu tak berlaku bagi jenis relasi erotik beda jenis.  

Cinta erotik yang ditransformasi menjadi jalinan persahabatan yang terbaik, akan mengantar sepasang kekasih ke kehidupan penuh kebahagiaan di mana hasrat hati, gairah persahabatan, dan impuls pada filosofi berkelindan dengan sempurna.  

Every heart sings a song, incomplete, until another heart whispers back. Those who wish to sing always find a song. At the touch of a lover, everyone becomes a poet.” —Plato



———
[i] Phaedrus ditulis oleh Plato, merekam dialog antara Plato sebagai protagonis, dengan Socrates, dan Phaedrus, seorang teman berdiskusi dalam beberapa dialog. Phaedrus diperkirakan terbit sekitar 370 SM, kurang lebih pada saat yang sama dengan karyanya yang lain, Republic dan Symposium.[1] Meski seolah-olah tentang cinta, diskusi dalam dialog ini sesungguhnya berpusar pada seni retorika serta bagaimana mempraktikkannya, dan mengenai beragam subyek seperti metempsychosis (tradisi reinkarnasi Yunani) serta cinta erotik. (Wikipedia)

[ii] Symposium adalah naskah filosofis Plato dari sekitar 385-370 SM. Teks ini menggambarkan terselenggaranya sebuah kontes pidato persahabatan yang tidak dipersiapkan lebih dulu, disampaikan oleh sekelompok warga terkemuka (crème de la crème) yang tengah menghadiri sebuah jamuan makan. Termasuk di antaranya, filsuf Socrates, perwira dan politikus Alcibiades, dan penulis drama komedi Aristophanes. Pidato tersebut harus ditujukan untuk memuji Erôs, yang merupakan dewa cinta dan nafsu, putra Aphrodite. Dalam Symposium, Erôs dilihat sebagai cinta erotik, sebagai fenomena yang mampu menginspirasi keperkasaan, keberanian, perbuatan atau pekerjaan hebat, dan mampu menaklukkan ketakutan alami manusia akan kematian. Ini dipandang sebagai melampaui asal-usul manusia, serta mencapai ketinggian spiritual. (Wikipedia)


***


———
Referensi

Nancy Garden. 1982. Annie on My Mind, Farrar, Straus and Giroux.

Annie on My Mind. Wikipedia, en.wikipedia.org (diakses 26 Juni 2017).

Janet Alsup (ed.). 2010. Young Adult Literature and Adolescent Identity Across Cultures and Classrooms. Routledge.

Neel Burton M.D. 2012. Plato on True Love. Psychology Today, psychologytoday.com (diakses 6 Juli 2017).

Phaedrus (dialogue). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli 2017).

Symposium (Plato). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli 2017).


———
Tulisan lainnya di sini