Sunday, January 22, 2017

Ketuhanan Mohammad Natsir


Saudaraku, tidak banyak orang yang dapat menyatukan pada dirinya semangat keislaman yang kuat, nasionalisme yang kuat, integritas yang kuat, serta toleransi yang kuat. Salah seorang dari sedikit figur seperti itu ditunjukkan oleh Mohammad Natsir.

Lahir di Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, sebagai anak dari seorang juru tulis kontrolir, Natsir kecil mengawali mendidikan dengan memasuki HIS di Solok yang dikombinasikan dengan pendidikan madrasah (diniyah) yang dikelola oleh para pengkut Haji Rasul (Ayah Hamka). Setelah itu, ia memasuki MULO (1923-1927) dan berlanjut ke AMS di Bandung, hingga tamat pada tahun 1930.

Memasuki jaringan Haji Rasul, Natsir sedari dini telah terekspos pada gerakan reformisme-modernisme Islam. Pertemuannya dengan pemimpin Persis, A. Hassan, saat dia belajar di AMS Bandung mempertautkannya kembali dengan jaringan intelektual reformis dan menyurutkan cita-citanya untuk mengambil gelar dari perguruan tinggi hukum.

Erudisinya baik dalam pengetahuan sekuler maupun pengetahuan agama menjadikannya sebagai seorang intelektual organik dari umat Muslim yang mulai diakui sejak dia menjadi ko-editor majalah Pembela Islam (bersama dengan A. Hassan) pada tahun 1929. Ketika Natsir mulai menjadi ko-editor majalah tersebut, ruang publik didominasi oleh wacana-wacana tentang nasionalisme. Dia mulai ambil bagian dalam polemik tentang Islam dan nasionalisme pada tahun 1931, dimana ia memperkenalkan istilah “Kebangsaan Muslim” sebagai alternatif dari “Nasionalisme sekuler”.

Keterlibatan Natsir dalam pegerakan dimulai dengan memasuki perkumpulan pelajar Muslim, Jong Islamieten Bond, yang memberinya bekal menjadi aktivitas politik pada tahun 1940 ketika dia menjadi ketua PII (Partai Islam Indonesia) cabang Bandung. Di masa Revolusi Kemerdekaan, Natsir tampil sebagai rising star dalam kepimpinan kaum Muslim. Ia terpilih menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite NasionalIndonesia Pusat), ikut mendirikan dan memimpin Partai Masyumi, memimpin kementerian (menteri pertahanan dan penerangan). Setelah revolusi kemerdekaan, ia menjadi Perdana Menteri dan pengaruh kepemimpinannya meluas ke tingkat internasional. Ia pernah menjadi Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, serta anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah.

Sebagai pemimpin bangsa dan pemimpin Islam, Natsir menampilkan diri sebagai pribadi dengan hikmat-kebijaksanaan tinggi, yang dapat menempatkan agenda keislaman dalam kepentingan yang lebih luas. Hal ini tercermin dari inisiatifnya dalam menggagas apa yang dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Dalam Mosi ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak untuk tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir juga menyerukan agar tidak memaksa negara-negara bagian untuk membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik. Dalam menggagas Mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dahulu melakukan penjajagan. Di Negara Pasundan ia menemui Sekarmadji Kartosoewirjo untuk tidak memproklamirkan Darul Islam. Di parlemen ia berunding dengan I.J. Kasimo dari Fraksi Partai Katolik, AM. Tambunan dari Partai Kristen dan Mr. Hardi dari PNI.

Hal ini membuktikan bahwa manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan yang tak tertampung oleh kategori tersebut. Terlebih jika seseorang itu manusia besar, yang selalu lebih besar dari dirinya sendiri. Seorang Natsir, yang dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, yang secara stereotip diperhadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi partainya. Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu diantara menteri-menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno... Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”

Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjungjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya bahwa konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan bahwa kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait dengan (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan, karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”

Ketika Masjumi berkuasa, Natsir juga tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila yang menurutnya selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandangnya menjadi dasar etika, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Hal yang serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Qur’an, 1954: ”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya bahwa dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”

Natsir membuktikan bahwa menjadi Muslim yang taat tidak berarti kehilangan respek pada yang berbeda keyakinan. Rasa welas asih bisa menembus batas keyakinan, ideologi, ras dan etnis. Saat ditunjuk menjadi Perdana Menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi dengan melibatkan unsur-unsur non-Muslim. Ia memelopori pembentukan kabinet ahli (zaken kabinet) dengan tak segan merekrut orang-orang profesional dari berbagai latar keagamaan: ada FS. Harjadi (Katolik/Partai Katolik), J. Leimena (Kristen/Partai Kristen Indonesia), M.A. Pellaupessy (Kristen/Fraksi Demokratik), dan Herman Johannes (Kristen/PIR).

Selain menjalin persahabatan yang hangat dengan tokoh-tokoh non-Muslim, Natsir pun bisa minum teh dan makan sate bersama dengan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit di kantin parlemen. Ia kerapkali menekankan bangsa Indonesia dengan segala keragamannya harus “senantiasa mencari titik persamaan”. Karena itu, ia menganjurkan paham toleransi yang bersifat aktif. Dalam tulisannya di majalah Masyumi, Hikmah, edisi Februari 1954, ia menulis: “Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antara agama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif, ia itu aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja! Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.”

Di dalam artikelnya tersebut, Natsir menegaskan bahwa Al-Quran jelas mengajarkan bahwa seorang Muslim diperintahkan untuk berjuang membela orang yang kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya lantaran mereka mempertahankan keyakinan. Ia harus berjuang untuk mempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyang dan mesjid-mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah. (Natsir, 1954 & 1957).

Semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan juga tercermin dalam akhlak mulia. Natsir terpandang sebagai pribadi yang berintegritas. Kebersihan dan kebersahajaan dikisahkan oleh George McTurnan Kahin, Indonesianis terkemuka dari Cornell University, Amerika Serikat (AS). Dalam kungjungannya ke Yogyakarta pada tahun 1948, Kahin melihat penampilan Natsir yang hampir-hampir tak menunjukkan dirinya sebagai menteri penerangan. Natsir mengenakan jas yang penuh dengan tambalan di sana-sini; dan belakangan ia juga tahu bahwa para staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membeli baju buat Natsir.

Menjadi Perdana Menteri tidak membuat penampilan Natsir banyak berubah. Ia menempati rumah bekas Soekarno di Jalan PegangsaanTimur (kini Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat. Sebelum pindah kerumah tersebut, Natsir dan keluarganya tinggal menumpang disebuah gang di Jalan Jawa dan lalu di kawasan Tanah Abang. Mengenai kendaraan Natsir kala itu, Majalah Tempo, edisi 14 Juli 2008, melukiskannya cuma mempunyai mobil bermerk DeSoto yang telah kusam. Pada 1956, Natsir ditawari sebuah mobil sedan mewah buatan AS, namun ia menolak dengan halus. Setelah melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri, Natsir pun segera meninggalkan rumah dinasnya di Jalan Proklamasi dan kembali ke Jalan Jawa (Nugroho, 2011).

Selain itu, ia juga menolak mendapatkan sisa dana taktisnya sebagai Perdana Menteri yang saldonya lumayan banyak. Ia malah menyuruh sekretarisnya, Maria Ulfa, untuk menyerahkan sisa dana taktis itu kepada koperasi pegawai. Begitu berhenti sebagai Perdana Menteri, Natsir meninggalkan mobil dinasnya di Istana Kepresidenan. Ia memilih untuk membonceng sopirnya pulang ke rumah di Jl. Proklamasi.

Mohammad Natsir bisa disebut sebagai tokoh Muslim-demokrat sejati. Kepergian untuk selamanya, pada 6 Februari 1993, meninggalkan lobang besar dalam jantung keislaman dan kebangsaan.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi).

Mohammad Natsir (1908–1993). Sumber: Wikimedia Commons.

Tuesday, January 17, 2017

Ketuhanan Soedirman

Saudaraku, semangat ketuhanan yang memijarkan keberanian rela berkorban dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan menjelma dalam sosok Jenderal Soedirman.

Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1916, Panglima TNI pertama pada usia 29 tahun itu memulai studinya di HIS, terus ke MULO, dan berujung di Sekolah Guru Bantu Hollandsche Indische Kweekschool, meski sekolahnya yang terakhir ini tidak sampai tamat. Perjumpaannya dengan tokoh Muhammadiyah Cilacap, R. Mohammad Kholil, mengantarkan Soedirman menjadi guru sekolah dasar di HIS Muhammadiyah Cilacap.

Sewaktu bersekolah di MULO, Soedirman mulai mendapatkan kesadaran nasionalisme dari guru-guru yang kebanyakan aktif di organisasi Budi Utomo. Di kelas, selain bersemangat mempelajari ilmu-ilmu umum, ia juga tekun belajar agama. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Semasa itu pula ia mulai bergiat dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan, di bawah bendera Muhammadiyah, hingga mencapai tahap “Menteri Daerah” (setingkat Ketua Kwartir Daerah). “Watak disiplin dan tanggung jawab yang Soedirman miliki hingga menjadi Panglima Besar awalnya dipupuk di Hizbul Wathan,” ujar ahli sejarah TNI, Saleh Djamhari.

Sebelum memutuskan bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA), Soedirman sesungguhnya tidak dalam kondisi yang ideal untuk menjadi seorang tentara. “Saya cacat, tak layak masuk tentara,” ujar Soedirman. Kaki kirinya pernah terkilir saat bermain sepak bola, yang membuat tulang lututnya bergeser. Saat ia mengutarakan tekadnya masuk PETA kepada istrinya, Siti Alfiah, sang istri mengingatkan soal kakinya dan penglihatan mata kirinya yang kurang terang. Namun tekad Soediman telah bulat, “Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya. Saya harap Ibu berhati mantap,” ujarnya. Ia masuk PETA angkatan kedua pada 1943 sebagai calon daidancho (setingkat komandan batalion), dan tak lama kemudian mengantarkannya menjadi daidancho Kroya.

Di masa revolusi kemerdekaan, pada 12 November 1945, Soedirman yang berpangkat kolonel terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—dalam perkembangannya menjadi Tentara Nasional Indonesia, dan secara resmi dilantik oleh Presiden Soekarno pada 18 Desember 1945. Dalam kedudukannya sebagai Panglima Besar, tak lama kemudian pangkatnya melesat menjadi seorang jenderal. Pembawaannya yang tenang dan kharismatik membuatnya sangat berpengaruh di lingkungan tentara.

Keberaniannya memperjuangkan kebenaran dan keadilan teruji menyusul Agresi Militer Belanda II, yang menyerbu Yogyakarta pada pagi hari 19 Desember 1948. Saat itu, kondisi kesehatannya buruk. Sudah tiga bulan ia beristirahat karena penyakit tuberkolosis (TBC) paru-paru yang dideritanya; dan baru empat hari sebelumnya, ia keluar dari rumah sakit setelah menjalani operasi.

Namun, panggilan Ibu Pertiwi membuatnya segera bangkit. Pada pagi itu pula, ia segera memerintahkan ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, untuk mengumumkan Perintah Siasat Nomor 1, tentang strategi gerilya yang harus dilakukan TNI. Ia juga meminta Soepardjo untuk menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Malioboro, untuk menyampaikan pesannya agar Presiden Soekarno segera meninggalkan Yogyakarta.

Menunggu kabar dari Soepardjo yang tak kunjung tiba, Soedirman segera bangkit dari pembaringannya, memaksakan diri untuk menemui Presiden Soekarno secara langsung. Beliau hendak meminta Presiden dan pejabat lain untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya.

Tetapi, Soekarno dan Hatta rupanya punya perhitungan lain, sehingga memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Soekarno meyakinkan Soedirman bahwa keadaan bisa diatasi. “Tidak ada sesuatu yang penting. Pulang saja, istirahat,” ujar Soekarno, seraya meminta dokter Soewondo untuk merawat Soedirman.

Soedirman menolak bujukan Presiden Soekarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta. “Dia punya sumpah tidak kenal menyerah,” ujar ahli militer Salim Said. “Soedirman paham, selaku pemimpin militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando negara,” ujar Saleh Djamhari. Dalam kondisi sakit, ia memutuskan pergi untuk memimpin gerilya. “Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujarnya. Dengan separuh paru-paru ia memimpin perang gerilya. Selama delapan bulan, sambil ditandu, ia keluar-masuk hutan di sepanjang rute gerilya yang membentang dari Yogyakarta, Kediri, hingga Pacitan.

Kisah Panglima Besar Soedirman yang meski dalam keadaan sakit tidak henti bergerilya telah menjadi teladan tersendiri tentang semangat juang dan semangat berkorban demi Nusa-Bangsa. Demi perjuangan Tanah Air yang dicintainya, Soedirman sampai pernah meminta perhiasan istrinya, Siti Alfiah, untuk ditukarkan dengan makanan bagi keperluan makanan tentara yang dipimpinnya.

Heroisme Soedirman ini melambungkan moral kejuangan di kalangan tentara dan rakyat, meluaskan medan pertempuran ke berbagai wilayah Tanah Air. Sebagai jurus pamungkas, Soedirman memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin Serangan Umum ke Yogyakarta pada 1 Maret 1949, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Serangan Umum ini berhasil dengan gemilang, yang membantu usaha diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (Tempo, 2012).

Kerelaan berkorban, dengan kesanggupan mengenyampingkan egoisme juga tercemin dari kebesaran jiwanya menyusul Perjanjian Roem-Roijen yang menimbulkan kekecewaan banyak kalangan. Panglima Besar Soedirman merasa perjanjian itu tidak sepantasnya dilakukan karena pemerintah yang mengirim utusan sedang dalam masa pengasingan dan penahanan Belanda di Bangka. Jenderal Soedirman yang terus memimpin perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia seakan ditinggalkan. Begitu juga dengan Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Dengan perjanjian tersebut, kewenangan pemerintahan yang ada pada dirinya seakan diabaikan.

Namun, dengan semangat rela berkorban demi kepentingan umum, ganjalan psikologis dan perbedaan pandangan itu bisa diselesaikan. Sejarawan Taufik Abdullah melukiskan dengan indah semangat itu ketika ia menulis, “Betapa pun pahit yang dirasakan Sjafruddin dan Soedirman, mereka datang juga. Mereka memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu perjuangan bersama yang harus dimenangkan. Mereka memilih kembali, demi keutuhan perjuangan.”

Dalam peristiwa itu, Soedirman benar-benar membuktikan konsistensinya dengan apa yang pernah ia katakan dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Panglima Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam pidatonya itu, ia menegaskan sesuatu yang penting sebagai landasan pedoman perjuangan TNI kemudian: "Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup Tentara teguh memegang kewajibannya ini. Lagi pula, sebagai Tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada Pimpinan atasannya, dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkannya. Harus diingat pula, oleh karena negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh Tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar Tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga. Tunduk kepada perintah pimpinannya, inilah yang menjadi kekuatan suatu Tentara."

Dengan jiwa religius yang lapang, Soedirman lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan umum di atas kenyamanan pribadi. Kepada para pemimpin dan prajurit setabah gembala ia pun berpesan: ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)


Soedirman (1916–1950). Sumber: Wikipedia.

Saturday, January 14, 2017

Ketuhanan Johannes Leimena


Saudaraku, pada awal kemerdekaan, Indonesia memiliki seorang dokter religius yang memiliki kepedulian besar pada usaha kesejahteraan sosial, terutama menyangkut kesehatan masyarakat. Dokter itu bernama Johannes Leimena (biasa disapa Oom Jo), Putra Ambon (Maluku), kelahiran 6 Maret 1905. Ia kerap disebut sebagai dokter serba bisa karena selain menjadi dokter yang menguasai berbagai urusan kesehatan, ia juga seorang politisi dan diplomat dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda.

Leimena merupakan satu-satunya tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat Menteri (termasuk menteri muda, wakil menteri dan wakil Perdana Menteri) dalam 18 Kabinet yang berbeda, selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus; sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966), utamanya di Kementerian Kesehatan dan Sosial. Bahkan ia pun pernah menjadi pejabat Presiden. Selain itu, Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora.

Kepedulian sosial-keagamaannya mulai bangkit saat ia menempuh pendidikan kedokteran tingkat rendah di STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) di Jakarta dan NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. Pada masa ini, keprihatiannya atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa memberinya motivasi untuk aktif pada “Gerakan Oikumene”. Penghayatan religiositasnya tumbuh bersamaan dengan kesadaran sosialnya. Pada 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung, yang kemudian melahirkan Organisasi Oikumene pertama di kalangan pemuda Kristen, Cristelijke Studenten Vereeniging (CSV), yang merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Selain itu, sebagai aktivis Jong Ambon, ia juga ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia II, yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Setelah menempuh pendidikan kedokteran tingkat rendah di NIAS Surabaya (1930), ia melanjutkan studinya untuk meraih dokter penuh di Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta. Ia meraih gelar doktor pada 17 November 1939 dengan disertasi Leverfunctie-proeven bij Inheemschen”, yang mengkaji kasus-kasus penyakit yang dijumpainya selama bertugas. Setelah itu, ia berjuang melalui profesi kedokterannya untuk mengembangkan kemanusiaan; bukan hanya kemanusiaan secara fisik sesuai dengan profesinya sebagai dokter, melainkan juga humanisme transendental yang diwujudkan dalam tindakan. Pemikiran kesehatannya melebihi batas-batas ilmu kedokteran dan kesehatan yang digelutinya.

Dengan humanisme transendentalnya, Leimena menjelma menjadi sosok seorang dokter yang memiliki jiwa dan sifat kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang beriman, ia mengamalkan ajaran Kristennya ke dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa. Bagi Oom Jo, beragama dan beribadah adalah “suatu kesadaran yang bertanggung jawab” sehingga dalam prakteknya adalah “berkewarganegaraan yang bertanggung jawab.”

Setelah menyandang gelar dokter, ia mulai diangkat sebagai dokter yang bertugas di CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo). Komitmen kemanusiaannya tersentuh saat membantu pasien korban letusan Gunung Merapi, dan tambah menguat ketika bertugas di rumah sakit Immanuel Bandung dan rumah sakit milik pabrik kertas di Padalarang.

Leimena terkenal karena keberhasilannya menemukan racikan obat salep untuk mengobati penyakit kulit ringan, yang banyak diidap rakyat kecil, dengan label “salep Leimena”. Salep yang sangat terkenal mujarab pada zamannya itu membuktikan seorang Leimena sebagai dokter yang inovatif dan peduli kebutuhan rakyatnya.

Oom Jo merasa tak cukup melayani pasien yang ada di poliklinik atau rumah sakit. Ia sering berkunjung ke daerah sekitar Bandung melihat kondisi kesehatan di masyarakat seperti di Sumedang, Padalarang, Majalaya, dan Ciparay. Kelak, hasil persentuhannya dengan masyarakat ini membuatnya memiliki gagasan membentuk poliklinik untuk melayani masyarakat, khususnya petani.

Ketika menjabat Menteri Kesehatan (1953-1955), Oom Jo merumuskan rencana pembangunan kesehatan yang komprehensif yang dikenal dengan nama Rencana Leimena. Rencana ini mengkonsepsikan pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan penyembuhan (preventif dan kuratif) dan perimbangan fasilitas layanan kesehatan di kota dan desa. Melihat kondisi kesehatan masyarakat yang disaksikan, menumbuhkan kepedulian pada Leimena. Kepedulian kemanusiaan inilah yang membuatnya sangat mempedulikan kesehatan masyarakat Indonesia, dengan mengembangkan pendirian layanan kesehatan yang sekarang dikenal sebagai Puskesmas.

Sedemikian kuat komitmen dan integritasnya dalam kemanusiaan dan kesejahteraan sosial, tak heran kalau Mohammad Roem, yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia, menyebut Leimena sebagai “pribadi yang memiliki integritas, kejujuran penuh dedikasi”. Sri Sultan Hamengkubowono IX (1979) pun pernah mengenang arti penting sosok Leimena, “Andaikata Oom Jo sekarang ini masih berada di tengah-tengah kita, niscaya dia akan menjadi tauladan kita semua sebagai pemimpin politik yang jujur dan sebagai pemimpin yang tetap hidup sederhana dengan murni” (Zuhdi, 2010).

Bahkan tak kurang dari Bung Karno sendiri memberikan testimoni atas dirinya: “Ambillah misalnya Leimena—seorang dokter desa. Kami pernah berjumpa sebentar di masa perang ketika ia mengobati sakit kepalaku dan kemudian, juga sebentar, ketika aku berkunjung ke kotanya setelah kemerdekaan. Tidak lama setelah itu seorang pembantuku menjemputnya untuk dibawa ke Jakarta. Sebagai seorang Kristen dari Maluku, ia mewakili dua minoritas yang kuinginkan dalam kabinetku, untuk mewujudkan semboyan kami: Bhinneka Tunggal Ika. Yang lebih penting, saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui” (Adams, 2011: 289).

Jejak langkah Dokter Leimena merupakan contoh ekselen dari semangat ketuhanan yang menjunjung tinggi nilai keadilan. Dirinya merupakan penjelmaan dari tiga peran sosial dalam mewujudkan keadilan sosial: peran penyelenggara negara, peran pasar/pelaku usaha (sebagai dokter dan pemegang merek “salep Leimena”) dan peran masyarakat sipil (sejak aktivis mahasiswa) yang secara bergotong-royong menghadirkan kesejahteraan sosial.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)


Johannes Leimena (1905–1977). Sumber: Wikimedia Commons

Friday, January 13, 2017

Ketuhanan Hamka

Saudaraku, tak salah sebagian orang menjulukinya ”kiai cinta”. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 1970, Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengakui, ”Dasar kepengarangan saya adalah cinta.”

Cinta altruistik, seperti pesan Hayati kepada Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. ”Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sali sedan. Cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”

Cinta adalah kepribadiannya. Terbentuk oleh pengalaman masa kecil dan hambatan budaya yang diseberangi, yang menantangnya untuk menafsir kembali tradisi.

Hamka bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku sejarah. Baginya, menulis merupakan upaya menancapkan posisi etisnya. Mirip kredo Milan Kundera, ”For me being a novelist was more than just working in one ‘literary genre’ rather than another; it was an outlook, a wisdom, a position; a position that would rule out identification with any politics, any religion, any ideology, any moral doctrine, any group.

Penderitaan dan perbenturan merindukan cinta, memberinya daya sensitivitas dan hasrat pengembaraan intelektualitas. Betapapun luas dan jauh pengembaraan, Hamka tak pernah lupa menariknya kembali ke posisi awal. Dibesarkan dalam jaringan keislaman yang kuat, apa pun bentuk pengucapan Hamka selalu didenyuti nilai dan posisi keislamannya.

Dalam pandangan M Yunan Nasution, mitranya di Pedoman Masjarakat (1936-1942). ”Sebagai seorang putra yang dilahirkan dan dibesarkan di tepi Danau Maninjau dengan air yang biru, ditambah penderitaan yang dialami di zaman kanak-kanak yang lebih banyak digenangi air mata perasaan, telah membentuk jiwa Hamka mempunyai perasaan halus dan peka terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.”

Hamka kecil bangga sekaligus berjarak pada ayahnya. Bangga, karena ayahnya ulama terkenal, suhu ”kaum muda” Islam di Sumatera Barat, Dr H Abdul Karim Amrullah.

Berjarak, bukan karena kesibukan ayahnya sebagai pendakwah pengelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Kecenderungan dakwahnya yang ”keras” tak kenal kompromi merembes ke cara mendidik anaknya.

Dalam Falsafah Hidup, Hamka bertutur, ”Tetapi entah bagaimana, dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau…. Jiwa beliau adalah jiwa diktator…. Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang, menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau mengaji, saya bosan mendengar kitab Figh yang diajarkan di Thawalib.”

Kerenggangan hubungan anak-ayah ini bukan hanya ingatan pedih dalam biografi pribadi, tetapi juga riak dari gelombang ketegangan dalam biografi kolektif. Sejak awal abad ke-19, alam Minangkabau diterjang tsunami konflik nilai, yang pusat gempanya terletak di Timur Tengah.

Menghadapi krisis Dunia Islam, sejak abad ke-17 para pembaru dalam jaringan ulama internasional mengajukan pertanyaan sentral: mengapa masyarakat Islam begitu terpuruk? Mereka tak mau mengalamatkan keterbelakangan ini pada kelemahan inheren Islam karena percaya Islam relevan untuk segala zaman. Ditudingkan, biangnya adalah pengamalan Islam yang menyimpang dari ajaran asli. Lebih parah lagi, Islam distortif penuh bidah dan takhayul itu dimistifikasi secara taqlid, tidak memungkinkan pembaruan.

Solusinya berdimensi ganda: pemurnian Islam dengan berpulang pada Al Quran dan Hadis; serta penjebolan dinding taqlid lewat ijtihad, agar Islam relevan dengan dinamika perkembangan.

Penekanan pada pemurnian berjuluk reformisme Islam. Pendukung utamanya ulama yang belum melek pengetahuan modern sehingga cenderung reaktif terhadap pengaruh Barat. Penekanan pada ijtihad berjuluk modernisme Islam. Pendukung utamanya ulama angkatan baru, yang lebih melek pengetahuan modern, sehingga bersedia melakukan apropriasi terhadap pengaruh Barat.

Sepanjang abad ke-19, reformisme Islam merupakan wacana dan ideologi dominan di Mekkah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini mengancam posisi adat dan tarekat yang menjamur di Sumatera Barat sejak abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.

Serangan pertama terhadap adat-tarekat datang bersama kepulangan tiga ulama pada 1802. Terpengaruh faham Wahabiyya, penetrasi ajarannya mengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledak menyusul kepulangan ayah Hamka dari Mekkah (1901 dan 1906), yang mengibarkan bendera ”kaum muda”, berhadapan dengan ”kaum tua”, bahkan ayahnya sendiri, Syekh Amrullah, pemimpin Tarekat Naqsabandiyah.

Hamka kecil menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah. Jejak-jejak heterodoksi Islam tarekat masih tersisa, dihadapkan gempuran ortodoksi Islam. Keterbatasan ayahnya dalam jaringan komunitas epistemik dan pengetahuan modern membuatnya lebih menekankan dimensi pemurnian ketimbang pembaruan.

Bentrokan antara dunia kakek dan ayah mendorong Hamka untuk melampauinya. Keberjarakan dengan ayah disertai etos perantauan Minangkabau mendorong Hamka mengembara mencari jati diri. Berbekal kemampuan baca-tulis (Arab dan Latin) dari pendidikan dasar, pada 1924 ia merantau ke Jawa; lantas ke tempat-tempat lain hingga menetap di Jakarta.

Pengembaraan meluaskan minat dan horizon pengetahuannya. ”Saya tidak dapat melupakan perkenalan saya dengan almarhum HOS Tjokroaminoto yang mulai menunjukkan pandangan Islam dari segi ilmu pengetahuan Barat saat beliau mengajarkan ’Islam dan Socialisme’ saat saya datang ke Yogyakarta tahun 1924”.

Di kota ini ia mereguk pengetahuan sosiologi dari Soerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari KH Mas Mansur, tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo.

Di Pekalongan, ia menemukan guru panutan dalam pendalaman studi Al Quran, AR Sutan Mansur. Di Bandung, ia bertemu A Hassan dan M Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah Pembela Islam. Keterlibatan dalam jaringan mengendurkan atavismenya. Perluasan pengetahuan menguatkan jiwa kosmopolitan. Etos puritan dalam keluwesan pergaulan dan kelapangan jiwa mengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran dan estetik.

Dalam paham kebangsaan, semula Hamka mengikuti pandangan Persatuan Islam (Persis), memandang nasionalisme sebagai asyabiyah yang bersifat jahiliah dan tak bisa ditolerir. Menyimak tanpa prasangka argumen yang dikembangkan pendukung kebangsaan yang netral agama, Hamka melihat kemungkinan lain. Baginya, antara kebangsaan dan Islam tidak perlu ada pertentangan, malah bisa sesuai. Hal ini menuai kritik pedas dari Persis.

Saat Bung Karno wafat, Hamka yang pernah dipenjarakan melawan arus dengan menshalati jenazahnya. Menurut dia, tidak ada hak untuk mengatakan Bung Karno munafik.

Kekayaan jaringan bukan hanya membawa kelenturan, tetapi juga kebesaran. Menurut sosiologi pengetahuan, intelektual besar kerap muncul dari jaringan besar, baik jaringan ke atas, ke samping, maupun ke bawah. Para pemikir besar galibnya memiliki guru-guru yang besar; berinteraksi dan diuntungkan oleh kehadiran para pemikir (besar) sezaman; sebagai mitra maupun ”lawan” yang mematangkan pemikiran; juga jaringan murid-muridnya yang mengikuti dan menyempurnakan pemikiran gurunya. Hamka memiliki semua itu.

Kebesaran Hamka tercemin dari peninggalannya. Tak kurang dari 118 buku yang dikarangnya. Al Azhar dengan jaringan persekolahannya menjadi ikon dari kelas menengah Muslim yang modern. Siaran keagamaan televisi yang dipeloporinya menjadi trend setter yang kini mewabah.

Hamka menjelmakan ekspresi Islam yang luas, lentur, dan estetik. Islam produktif yang membawa kemaslahatan dan kasih sayang bagi kemanusiaan universal; Islam rahmatan lilalamin!

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Hamka (1908–1981). Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia.





Tuesday, January 10, 2017

Ketuhanan Hatta


Saudaraku, Sila Ketuhanan dalam Pancasila selain digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia juga merefleksikan perjalanan eksistensial para pendiri bangsa dalam mencari Tuhan.

Ada beragam jalan menuju Tuhan. Muhammad Hatta meniti jalan ini tanpa keluar dari jalur meski menemui banyak persimpangan. Ia lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, dengan nama asli Mohammad Ibn ‘Atta’. Nama ini tampaknya terinspirasi oleh nama Mohammad ‘Atta-i ‘l-Lah Al-Sakandari, pengarang buku Al-Hikam, sebuah buku sufistik (spiritual) yang sangat terkenal di lingkungan pesantren dan surau.

Lingkungan keluarganya memang kuat agamanya, juga terbilang kaya. Kakeknya, Syeikh Abdurrahman (dikenal sebagai Syeikh Batuampar) merupakan pendiri utama Surau Batuampar (Payakumbuh) yang terkenal sebagai pusat pengajaran Tarekat Naqsyabandiyyah. Ayahnya, Hadji Muhammad Djamil merupakan ulama muda yang terkenal di daerahnya, meski meninggal cepat pada usia 30 tahun, ketika Bung Hatta masih berusia 8 bulan. Hatta kemudian jatuh ke pengasuhan pamannya, kakak tertua ayahnya, bernama Hadji Arsjad, yang menggantikan posisi sebagai Syeikh Batuampar dengan sebutan “Tuanku nan Muda”.

Tidak jauh dari rumah keluarga Hatta yang terletak di Aur Tajungkang, terdapat rumah dan surau seorang ulama besar yang amat terkenal, Syeikh Muhammad Djamil Djambek. Hatta pernah mengenang, “Beliaulah yang membimbing langkahku yang pertama ke jalan pengetahuan Islam. Mengaji Qur’an sampai tamat dipimpin oleh murid-muridnya yang sudah khatam Qur’an beberapa kali dan diangkat beliau menjadi ‘Guru-Tua’. Sesudah itu untuk menanamkan pengertian tentang agama Islam, beliau sendiri yang mengajarkannya” (Hatta, 1982: 6).

Sementara itu, dari Hadji Arsjad, Hatta kecil kerap mendengar nasihat kakeknya tentang jalan spiritual: “Datukku selalu memperingatkan bahwa jalan ke Tarekat baru dapat ditempuh oleh mereka yang sudah cukup pengetahuan agamanya. Ajaran Tarekat adalah pengunci didikan agama. Jalan ke situ bertangga-tangga, tidak dapat dilalui dengan meloncat-loncat. Untuk masuk ke dalam Tarekat orang harus insaf benar, bahwa dalam agama tidak ada paksaan—la ikraha fiddin—jalan ke Tuhan ialah meyakinkan orang lain dan dimulai dengan meyakinkan diri sendiri.”

Semula, Hatta hendak dipersiapkan untuk menjadi ulama dengan rencana mengirimnya untuk sekolah agama di Mekkah untuk kemudian diteruskan ke Al-Azhar Kairo. Tetapi rupanya suratan takdir membawanya menempuh jalan yang berbeda. Ketika Hatta duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat Inyik Djambek, Paman Arsjad berniat pergi Mekkah dan akan membawa Hatta sesuai rencana. Ibunya merasa Hatta masih terlalu kecil, sedang pengajian Qur’an saja belum tamat. Maka jalan menuju Mekkah pun untuk sementara terhenti. Paman Arsjad yang semula kecewa, akhirnya sebagai orang Tarekat bisa menerima juga. “Ikhtiar dijalani,” katanya, “takdir menyudahi.”

Sementara Hatta menjalani Sekolah Rakyat, Syeikh Djambek terus menggembleng pelajaran agamanya, untuk mempersiapkan jurusan selanjutnya, ke Mekkah dan Mesir, yang tertunda. Namun sekali lagi, sebelum Sekolah Rakyat di Bukittinggi berakhir jalan takdir membuatnya harus segera pindah ke Padang, memasuki sekolah dasar Belanda (ELS), dan kemudian melanjutkan studinya ke sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Beruntunglah, pada pertengahan 1918, datang keputusan Pemerintah yang memberi kesempatan kepada murid-murid MULO untuk mendapatkan pelajaran agama satu jam seminggu. Di sinilah ia berkesempatan mendapatkan pengajaran agama Islam dari seorang tokoh pembaru di Sumatera Barat, Hadji Abdullah Ahmad. “Maka bersambunglah kembali pendidikanku yang teratur dalam hal agama, menurut cara baru, setelah terputus 5 tahun lamanya. Pelajaran-pelajaran secara insidentil sering kuikuti di rumah H. Abdullah Ahmad sejak setahun terakhir” (Hatta, 1982: 40).

Dari MULO, Hatta melanjutkan studi ke sekolah menengah ekonomi atas, Prins Hendrik Handels School, di Jakarta, dan pada 1921 berangkat ke negeri Belanda untuk kuliah di sekolah tinggi ekonomi Handels-Hoogeschool di Rotterdam. Dengan dasar kerohanian yang kuat, dalam menempuh jalan berliku dari kota kecil di Sumatera Barat, menuju kota besar Jakarta, hingga menembus jantung kosmopolitanisme Eropa, Hatta tidak pernah mengalami “gegar budaya” (culture shock) yang membuatnya harus memudarkan keyakinan.

Waktu libur kuliah, dengan nilai tukar Gulden Belanda yang jauh lebih tinggi dari mata uang lain, Hatta biasa berlibur ke kota-kota lain di Jerman, Austria, Perancis, dan Skandinavia. Di Hamburg dan Berlin, ia menyempatkan nonton opera dan teater. Di Wina, ia tak lupa menonton konser musik klasik. Namun dengan memasuki kehidupan budaya tinggi di Eropa itu, ia tetap taat menjalankan tuntunan agamanya. Dalam pengakuan Hatta dikatakannya, “Sebagaimana biasa aku bangun pagi hari pada jam 6.30. Waktu musim dingin aku tidur sampai jam 7. Setelah aku bangun dan sembahyang subuh, aku mulai membaca surat kabar” (Hatta, 1982: 184).

Bahkan ketika Ir. Fourner dan Ir. Van Leeuwen membujuknya untuk menjadi anggota perkumpulan Teosofi, Hatta dengan halus menolaknya. “Aku menolak terus-terang dengan alasan aku taat kepada Islam. Ir. Fournier mengatakan agama Islam tidak menjadi halangan untuk menjadi orang Teosofi. Teosofi bukan agama,--katanya —melainkan ajaran dan Teosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai persaudaraan bangsa-bangsa di dunia. Tetapi aku terus menolak” (Hatta, 1982: 150).

Keteguhan pendirian akan keyakinannya juga membuat Hatta tidak memiliki keberanian untuk menenggak minuman yang bisa memabukkan, sehingga ia sering menjadi bahan “ledekan” teman-temannya. Hatta mengisahkan hal ini: “Selama di Hamburg masih sempat kami pada suatu malam bersama-sama dengan Dr. Eichele dan Usman Idris melihat opera. Sebelum menonton opera itu kami makan malam dahulu pada sebuah restoran. Dahlan Abdullah, Dr. Eichele dan Usman Idris memesan bir untuk minum, aku pesan air es. Setelah selesai makan dan membayar harganya, aku ditertawakan oleh Dahlan Abdullah, bahwa minumanku air es lebih mahal harganya dari bir. Teman yang dua lainnya ikut tertawa. Di masa itu tiap-tiap restoran memesan bir berbotol-botol sekali pesan, sedangkan es dipesan dari pabrik es setiap kali. Frigidaire di waktu itu belum ada.”

Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama berkuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis kiri seperti Tan Malaka dan Semaun.

Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada tahun 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperlialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: 242-243).

Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama, ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan; ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, begitu jelas terlihat namun tak bisa dirasakan nilainya oleh orang lain. Cara beragamanya ingin meniru “garam” dalam larutan. Tidak terlihat, namun nilainya bisa dirasakan oleh setiap orang.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Muhammad Hatta (1945–1956). Sumber: Wikimedia Commons.

Monday, January 9, 2017

Ketuhanan Soekarno

Saudaraku, cara mendekati Tuhan dengan mencoba masuk dari berbagai jalan tetapi berujung menemukan jalurnya yang pas menuju Tuhan diperlihatkan oleh Soekarno. Ia berangkat dari latar belakang kompleksitas keyakinan. Menurut pengakuannya sendiri, “Kakekku menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, Hinduisme dan Buddhisme” (Adams, 2011: 90).


Pengenalannya lebih lanjut dengan Islam ia temukan saat tinggal di rumah Tjokroaminoto, sewaktu sekolah di HBS Surabaya. Bung Karno menuturkan: “Aku juga seorang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan, sifat yang melekat padaku sejak lahir. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena Bapak tidak mendalaminya. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15 tahun, ketika aku mengikuti keluarga Pak Tjokro masuk satu organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan, dari pukul delapan sampai tengah malam, seratus orang berdesak-desakan mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul dengan tanya-jawab” (Adams, 2011: 134).

Pada pertengahan 1920-an, saat kuliah di Bandung, berbagai kesulitan dan tantangan hidup membuatnya makin mendekat pada Tuhan. Seperti dalam pengakuannya: “Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama” (Adams, 2011: 88).

Pelbagai cobaan hidup yang menimpa dirinya, mulai dari persoalan keluarga dan tantangan perjuangan yang dipikulnya setelah penangkapan Pak Tjokro pada 1921, membuat Bung Karno lebih sensitif terhadap ketuhanan. Dalam ungkapan Im Yang Tjoe (2008), “Jiwa manusia menjadi matang dalam air mata. Betul, karena dengan peristiwa itu, jiwanya Soekarno telah menjadi semakin matang dalam kedukaan. Ia sekarang banyak memperhatikan hal-hal kerohanian. Rupanya kedukaan telah membuka pikirannya buat mencari ketenangan dari Tuhan.”

Suasana kejiwaan seperti itu bertautan dengan perjumpannya dengan berbagai tokoh lintas agama. Ketika H. Agoes Salim datang ke Bandung, Bung Karno mengunjunginya. Bermula dari diskusi mengenai pergerakan nasional, ujungnya mengerucut pada soal agama dan Allah, yang menjadi bidang keahlian Salim. Suatu momen kebetulan bagi Bung Karno yang jiwanya sedang haus akan siraman rohani. Setelah uraian dan pertukaran pikiran mengenai segi-segi ketuhanan hingga larut malam, apa yang menjadi pemahaman Salim tidak selalu cocok dengan jalan pikiran Bung Karno. “Saya belum tahu betul tentang Allah, tapi saya merasa pasti bahwa Allah yang tuan ‘gambarkan’ itu tidak cocok dengan pendapat saya,” ujar Bung Karno sambil berpamitan pulang. H. Agoes Salim pun tersenyum dan geleng-geleng kepala sendirian, seraya berkata, “Ah, anak muda kepala batu, tapi saya doakan mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala akan menerangi pikirannya.”

Di lain waktu, ia bertemu dengan Pastor Frans van Lith. Dengan pemimpin umat Katolik ini pun Soekarno berdebat, karena sekali lagi Tuhan yang digambarkan Sang Pastor tidak cocok dengan jalan pikirannya. Bung Karno sangsi, “Katanya Tuhan itu kebesarannya tidak terbatas, tapi kenapa oleh Van Lith dibataskan kepada apa yang baik saja, sedang yang buruk bukan dari Tuhan datangnya? Ini tidak cocok.” Dengan mendongkol, namun tetap dalam ekspresi cintanya, Pastor itu pun berseloroh, “Kau ini orang durhaka, berani menjelekkan Tuhan.” Bung Karno dengan tangkas menukas, “Tuhan akan mengampuni saya.”

Dalam pencarian berikutnya, Soekarno sering mengunjungi kampung-kampung dan gang-gang kumuh untuk mencari Tuhan seperti yang dilukiskan oleh Tolstoy, bahwa Tuhan berada di tempat-tempat yang penuh debu. Tentang hal ini Bung Karno punya ungkapan yang menyentuh, “Orang tidak dapat mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.” Meski begitu, dahaganya akan Tuhan belum juga terpuaskan.

Pencarian mengantarkannya pada buku-buku Hinduisme dan Budhisme. Kunjungan Rabindranath Tagore ke Jawa dan Bali pada 1927, membangkitkan endapan religiusitas bawah sadarnya yang telah lama tertutup usia. Soekarno terhenyak sesaat, namun kembali sadar sebagai anak muda yang tak pernah cepat puas. Ia pun berseru, “Juga bukan, bukan begitu adanya Tuhan, meski sudah mendekati reinkarnasi! Itu titis-menitisnya manusia dari satu badan ke lain badan, dari satu penghidupan ke lain penghidupan, yah, boleh jadi. Tapi di sini masih ada satu pertanyaan: ‘kalau manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan dosanya, pertanyaannya adalah apakah manusia mempunyai DIRI-nya sendiri?’ Ah, tidak, tidak. Ini belum memuaskan.”

Soekarno pun menjadi lelah, tak kunjung menemukan yang dicari. Ia lupa kata-kata Goethe, “Siapa yang masih berdaya, tandanya ia masih kesasar.” Dalam kepasrahannya, sekonyong-konyong “DIA” hadir. Tuhan datang sendiri, saat terlintas di kepalanya: “Siapakah yang mengatur itu perjodohan antara ayahnya dari Jawa dan ibunya dari Bali? Kalau ayahnya tidak dikirim sebagai guru ke Bali, niscaya tidak terjadi perjodohan itu. Siapa yang mengirim ayahnya ke sana? Pemerintahan kolonial Belanda. Benar. Yang mengirim ayahnya Pemerintahan Kolonial Belanda, tapi apakah pemerintah mempunyai maksud supaya ayahnya bertemu dengan sang Ibu? Tidak, sama sekali tidak. Nah, di sini lantas ketemu, bahwa adalah DIA yang mengatur”. Sekalipun pencarian spiritualnya masih jauh dari kata akhir, setidaknya sekarang Bung Karno merasa lebih tenang karena sudah menemukan keyakinan akan adanya DIA yang menjadikan segalanya (Im Yang Tjoe, 2008).

Proses Soekarno menemukan keyakinan ketuhanan dan keagamaannya itu menemukan momen pematangannya saat ia dipenjara dan diasingkan. Pada 1930, sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dijebloskan ke Penjara Banceuy (Bandung), karena tuduhan subversif (rencana pemberotankan bersenjata). Dari Penjara Banceuy, Soekarno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin dengan masa hukuman 4 tahun. Berkat bacaan keagamaan dan renungan spiritual yang mendalam selama di penjara, barulah menurutnya “Aku menemukan Islam dengan sungguh-sungguh dan benar. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut Islam yang sebenarnya” (Adams, 2011: 135).

Pada 1934, Soekarno diasingkan ke Ende, daerah terpencil di Pulau Flores, yang memberinya banyak waktu untuk merenung dan mematangkan konsepsi ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dasar kebangsaan secara lebih mendalam. Soekarno mengisahkan: “Di Ende yang terpencil dan membosankan itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku duduk bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan. Di bawah dahan-dahannya aku berdoa dan berpikir, mengenai suatu hari...suatu hari....Itu adalah perasaan yang sama yang menguasai MacArthur di kemudian hari. Dengan setiap sel syaraf berdenyut dalam seluruh tubuhku, aku merasakan bahwa bagaimana pun juga—di mana saja—kapan saja—aku akan kembali. Hanya semangat patriotisme yang menyala-nyala itu yang masih berkobar di dalam dadaku, yang membuat aku terus hidup” (Adams, 2011: 162-163).

Suasana keterasingan menciptakan kesadaran religiusitas. Kesadaran ini mendorongnya lebih banyak belajar agama yang rasa penasarannya sedikit terobati. Di sana dia bertemu dengan pastor-pastor Katolik yang bersimpati dengan perjuangannya, yang memberinya ruang pertukaran pikiran dan wawasan keagamaan yang lebih lapang.

Selain itu, berkat pasokan buku-buku agama dan surat-menyuratnya dengan tokoh-tokoh keagamaan, terutama Ahmad Hassan, pemimpin Persatuan Islam (Persis), memberinya kesempatan mendalami pengetahuan agama secara lebih serius. Kesadaran religiusitas ini lantas memberikan dimensi tambahan terhadap Marhaenisme, selain asas “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”. Pada titik ini, kandungan Pancasila telah menemukan bentuk awalnya. Dalam Pengakuan Soekarno dikatakannya: “Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila (Adams, 2011: 240).

Bekal keagamaan yang dipelajarinya di Ende memperoleh ruang penguatan dan pengamalan saat dibuang ke Bengkulu pada 1938. Di sini beliau memperoleh pengalaman praktis sebagai penggiat dan guru Muhammadiyah.

Dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno tumbuh sebagai pemimpin politik dengan penghayatan religiositas yang dalam. Hal ini tercemin dari uraiannya tentang Pancasila dan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada pidato 1 Juni 1945, Bung Karno antara lain mengatakan: "Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama... dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."

Tentang hari Proklamasi, meskipun para pemuda terus mendesaknya untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tetap tak mau mengabulkan permintaan mereka. Alasan utamanya karena Kemerdekaan Indonesia itu bukanlah untuk satu-dua hari, tetapi diharapkan bisa terus bertahan. Oleh karena itu, ia ingin memilih “hari yang baik”. Selengkapnya ia terangkan: “Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku....Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada di bulan suci Ramadhan....Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu” (Adams, 2011: 253).

Demikianlah, lewat jalan berliku Soekarno akhirnya bisa menemukan Tuhan. Suatu kesadaran ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Soekarno (1901–1970). Sumber: Wikimedia Commons

Wednesday, January 4, 2017

Karakter (Character)


“Karakter itu seperti pohon dan reputasi bagai bayangannya. Bayangan adalah apa yang kita bayangkan mengenai sesuatu, pohon adalah hal yang nyata.” 
—Abraham Lincoln (1809–1865)
Potret Abraham Lincoln sebagai Presiden Amerika Serikat (1861–1865), ditatah oleh The Bureau of Engraving and Printing. Sumber: Wikimedia Commons.

MORAL STORIES ABOUT CHARACTER...


A long time ago there was a boy. He was smart, talented and handsome. However, he was very selfish and his temper was so difficult, that nobody wanted to be friends with him. Often he got angry and said various hurtful things to people around him.

The boy‘s parents very concerned about his bad temper. They considered what they could do and one day the father had an idea. He called his son and gave him a hammer and a bag of nails. The father said: „Every time you get angry, take a nail and drive into that old fence as hard as you can.”

The fence was very tough and the hammer was heavy, nevertheless the boy was so furious that during the very first day he has driven 37 nails.

Day after day, week after week, the number of nails was gradually decreasing. After some time, the boy started to understand that holding his temper is easier that driving nails into the fence.

One day the boy didn‘t need hammer and nails anymore as he learned to hold his temper perfectly. So he came to his father and told about his achievement. „Now every time, when you hold your temper all day long, pull out one nail“.

Much time has passed. At last the boy could be proud of himself as all the nails were gone. When he came to his father and told about this, he offered to come and take a careful look at the fence. „You did a good job, my son, but pay your attention to the holes that left from the nails. The fence will never be the same. The same happens when your say hurtful things to people, as your words leave scars in their hearts like those holes in the fence. Remember, we need to treat everyone with love and respect, because it doesn‘t matter, that you say you are sorry, the scars will not disappear.

Tuesday, January 3, 2017

Kesepian (Loneliness)


“Dia hanya akan hidup di tengah-tengah kehidupan; di dalam isolasi ia menyusut ke bayang-bayang gelap.”
—Stefan Zweig, The Collected Stories of Stefan Zweig

Sumber: 
Media Indonesia, Selasa, 27 Desember 2016


#kehidupansosial #kanker #isolasi #kesepian #social life #cancer #isolation #loneliness 

Artikel terkait: Hidup Memang Tak Mudah, Tapi...

Monday, January 2, 2017

Jalani Hidup (Live Life)

Money doesn't mean anything to me. I've made a lot of money, but I want to enjoy life and not stress myself building my bank account. I give lots away and live simply, mostly out of a suitcase in hotels. We all know that good health is much more important.”  
—Keanu Reeves (1964–kini)
Kebanyakan orang memang sudah pernah mendengar kutipan bijak bahwa ‘good health is above wealth’. Tapi pada umumnya seseorang baru sungguh-sungguh menyadari artinya bila sudah berada dalam kondisi sakit atau tak berdaya. Dalam keadaan sakit seseorang baru menyadari bila harta yang dikumpulkannya selama ini tidak berarti apa-apa untuk menggantikan kesehatannya. Tapi bagaimana caranya untuk memperoleh kesehatan yang baik?

Memperoleh kesehatan yang baik sama artinya dengan memiliki inisiatif dan menjalankan langkah-langkah yang sesuai secara terus menerus

  • Mengonsumsi makanan yang layak dan seimbang akan menyediakan energi yang dibutuhkan tubuh untuk perkembangan jaringan baru, memperbaiki jaringan rusak, dan menjaga kondisi kerja tubuh yang baik; 
  • Olah raga yang cukup akan meningkatkan pertumbuhan otot, sirkulasi darah, nafsu makan, membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan nutrisi yang terdapat dalam makanan; 
  • Memiliki semangat yang optimis, suasana hati yang cukup adalah tanda-tanda emosi yang sehat. Emosi yang sehat bisa memperlambat penuaan, dan memperkuat daya tahan tubuh; 
  • Istirahat yang cukup akan membuat tubuh memulihkan sendiri, memperbaiki jaringan yang rusak, dan menjamin pertumbuhan yang rasional; 
  • Sering menghirup udara segar; 
  • Melindungi gigi secukupnya agar kuman dari gigi yang sakit tidak membawa bibit penyakit ke seluruh tubuh; 
  • Rutin memeriksakan tubuh, termasuk gigi; 
  • Memperhatikan kebersihan pribadi, kebersihan lingkungan, memakai pakaian yang nyaman; 
  • Menjaga cara berjalan, berdiri dan duduk yang benar; 
  • Mencintai pekerjaan, serta mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari pekerjaan, memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia; 
  • Mengendalikan konsumsi obat dan minuman yang beralkohol, menghentikan kebiasaan merokok dan kebiasaan buruk lainnya. 
Sumber: Dari berbagai publikasi

Dalam upaya memberdayakan masyarakat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan perlunya mengedepankan pendidikan kesehatan, perlindungan kesehatan, pentingnya meningkatkan kesehatan, dan mempromosikan kebiasaan menjaga kesehatan sendiri. Konsep ini lebih mementingkan tindakan pencegahan dan menjaga kesehatan daripada mengobati, mengubah sikap bergantung pada dokter menjadi mengendalikan sendiri kesehatan diri.

Artikel terkait: Hidup Memang Tak Mudah, Tapi...