Mencari
kebenaran lewat narasi
“We touched each other more easily—just
kissed or held hands or hugged each other, though—nothing more than that. We didn’t really talk much
about being gay; most the time we just talked about ourselves.”
—Sepenggal narasi Liza Winthrop, dalam novel Annie
on My Mind, Nancy Garden, 1982
Liza
Winthrop, mengenang perjumpaan pertamanya dengan Annie Kanyon suatu hari saat
hujan deras di Metropolitan Museum of Art. Liza, 17 tahun, tinggal di
lingkungan kelas atas Brooklyn Heights, sementara Annie yang seusia dengannya,
tinggal di lingkungan kumuh di Manhattan. Liza belajar di sekolah swasta,
Foster Academy dengan cita-cita bisa melanjutkan studinya ke MIT dan menjadi
seorang arsitek. Annie pergi ke sekolah negeri dan berharap bisa kuliah di
Universitas California, Berkeley untuk mengembangkan bakatnya sebagai penyanyi.
Meski latar
belakang sosialnya berbeda, keduanya segera menjadi akrab. Menunggu hujan
berhenti, mereka bercakap-cakap dengan berpura-pura memerankan sepasang ksatria
yang bertunangan, seakan-akan dialognya berasal dari sebuah naskah yang ditulis
khusus bagi mereka.
Namun peran
yang mereka bawakan dalam dongeng itu kemudian berlanjut di keseharian mereka.
Persahabatan Liza dan Annie bertumbuh seiring dengan adegan-adegan dramatis
yang “disodorkan oleh naskah” itu, yang memungkinkan Liza mencermati
perkembangan identitas seksualnya. Mereka terjalin intim dalam narasi fiksi
yang mereka reka bersama, sampai tiba saatnya Annie menyangkalnya: “No, I don’t want to do that with you any more... I don’t want to pretend
any more. You make me—want to be real.”
Namun, saat
Liza marah pada Annie, Annie berbalik kembali ke moda dongeng: “Maukah Putri
Liza datang menumpang gerobak magis petani yang hina ini? Kami akan
memperlihatkan kepadanya keajaiban kaum gipsi, burung camar, gua bersinar, dan
Jembatan Triborouhg.” Kegusaran Liza pun mereda dan betapa leganya ia
mengetahui bahwa “hubungan mereka baik-baik saja”. Realitas, tampaknya agak
terlalu “keras” bagi keduanya dalam mengelola jalinan ketertarikan keduanya
satu sama lain.
Begitu Liza
mengucapkan kata-kata ”I think I love you” ke
Annie, ia menyadari, “Aku mendengar sendiri diriku mengatakannya, seakan-akan
aku ini orang lain, tapi saat ucapan itu keluar, aku tahu lebih dari yang
kuketahui sebelumnya bahwa kata-kata itu benar adanya’. Kasih sayangnya
terhadap Annie rupanya belum disadarinya sampai ia mengucapkan kata-kata itu;
pernyataan cintanya kepada Annie itu lalu membangunkan identitasnya sebagai
perempuan yang jatuh cinta kepada perempuan lain.
Liza berulang
kali menimbang ucapannya itu: “Segera sesudahnya, tak terasa berat lagi
mengatakannya—pada diriku sendiri, maksudku juga seterusnya kepada Annie—dan
menerima kata-kata yang sama dari Annie, ‘It
scares me, too, Annie... but not because I think it’s wrong or anything—at
least I don’t think it’s that. It’s—it’s mostly because it’s so strong, the
love and the friendship and every part of it.’”
Liburan
Thanksgiving memberi kesempatan pada kedua anak perempuan itu untuk lebih dekat
lagi dan menuntun kepada ciuman pertama mereka. Kepada Liza, Annie mengakui
bahwa dia mengira dirinya gay.
Liza pun menyadari bahwa meski pun dia selalu menganggap dirinya berbeda, tapi
dia belum mengetahui orientasi seksualnya sampai ia jatuh cinta kepada Annie.
Ketika dua
guru wanita Liza, Stevenson dan Widmer (yang tinggal bersama) pergi berlibur
selama liburan musim semi, Liza menjadi relawan yang mengurusi rumah mereka.
Kedua gadis itu tinggal bersama di rumah itu, namun dalam kejadian tak terduga,
seorang administrator Foster menemukan keduanya bersama. Liza terpaksa
menceritakan kepada keluarganya tentang hubungannya dengan Annie, dan kepala
sekolahnya mengadakan pertemuan di antara dewan pengawas sekolah untuk
mengeluarkan Liza. Ternyata dewan mendukung Liza dan mengizinkannya tetap
bersekolah di situ, tapi kedua gurunya yang diketahui sebagai gay, dipecat.
Setelah
awalnya kaget mengetahui gadis-gadis itu tinggal bersama di rumah mereka, kedua
guru itu sangat mendukung dan berusaha meyakinkan Liza untuk tidak khawatir
tentang pemecatan mereka. Namun munculnya sejumlah respons negatif terhadap
dirinya, mendorong Liza akhirnya meninggalkan Annie. Kedua gadis itu berpisah
dan masing-masing melanjutkan sekolahnya di negara bagian yang berjauhan.
Menerima kebenaran, membebaskan
“To me, it’s not who you love… a man, a
woman, what have you… it’s the fact that you love. That is all that truly
matters.” —Al
Pacino
Sesudah membaca surat dari Annie, yang mengungkapkan
pengertiannya bila Liza merasa tak nyaman dan tak ingin menemuinya lagi, Liza
pun mulai mengevaluasi kembali identitasnya: “Betul bahwa aku tak sepenuhnya
sadar memikirkan untuk menjadi gay. Tapi juga benar jika aku memang gay, keduanya tak saja menjelaskan apa yang terjadi selama
ini antara aku dan Annie serta perasaanku kepadanya, namun juga banyak hal
dalam hidupku sebelum aku mengenalnya—segala hal yang tak pernah kupikirkan
lebih jauh sebelumnya.”
Memikirkan untuk menjadi gay, menceritakan kisah ketertarikannya pada Annie,
dan menulis surat untuk Annie (yang tak pernah dikirimkannya) menolong Liza
“menyelesaikan banyak hal” dalam hidupnya; dengan kata lain, keterikatannya
pada aktivitas dikursusnya telah membantunya mengonstruksi identitasnya sebagai
lesbian.
Tapi pelabelan itu dinilainya tak sedap. Liza tak pernah
nyaman dengan istilah “gay” dan “lesbian”. Dalam sebuah
perbincangan dengan Annie, Liza mengatakan, “Annie,
I—I love you, it’s crazy, but thats the one thing I am sure of. Maybe—well,
maybe the other, being gay, having that—that label, just takes getting used to,
but, Annie, I do love you.” Jelas, aktivitas bercakap-cakap dan menulis merupakan komponen
penting pada pengembangan identitas Liza; ia membangun dan memahami identitas
dirinya melalui tulisan-tulisannya dan dalam percakapannya dengan Annie.
Ketaknyamanannya dengan label itu bisa jadi merupakan pemahaman yang tak
diartikulasikannya bahwa mencintai Annie tak harus membuatnya menjadi gay, mungkin menyebabkannya jadi
berbeda saja.
Kegandrungan Liza pada cerita Plato mengenai sepasang
kekasih yang sebenarnya adalah dua bagian dari orang yang sama, lebih jauh
menjelaskan nilai-nilai yang dipercayainya ada pada kekuatan narasi dalam
mengonstruksi identitas: “Aku mencintai kisah itu sejak pertama kali
mendengarnya—di tahun-tahun awal aku bersekolah, kupikir—itu karena terasa
adil, dan benar, juga bijaksana.” Pertalian antara narasi dan identitas menjadi
semakin kuat dirasa ketika Annie dan Liza menemukan sebuah buku homoseksualitas
tersembunyi di rumah kedua gurunya itu.
“Tidak baik bagi kita memiliki rasa takut terlihat membaca
buku yang kita berhak membacanya... Liza, janganlah begitu. Jangan takut atau
malu membeli buku, dan ketika kita membelinya, janganlah menaruhnya di tempat
tersembunyi. Itu tidak jujur, tidak benar, dan adalah penyangkalan atas segala
hal yang kita rasakan satu sama lain.”
Jelang akhir cerita, Liza menjadari dampak keengganannya
mengontak Annie selama ini terhadap hubungan mereka: “Enam bulan berhenti
menulis—itu sungguh terasa berbeda.” Perbedaannya tentu saja adalah pada
stagnannya perkembangan identitas seksualnya. Pada saat diskursus tak lagi
hadir, perkembangan identitas visualnya tinggallah statis. Ia insaf harus
membangun kembali relasinya dengan Annie, dengan menulis atau bercakap-cakap.
Tapi daripada menulis surat yang dirasanya cenderung fragmentaris, Liza
memutuskan untuk menelepon Annie. Tak banyak kata mengalir dari keduanya,
kecuali luapan perasaan dua insan yang bertaut kembali.
“I—yes.
Annie—sorry. I—I’m crying—it’s so good to hear your voice again.”
“I
know, I’m crying, too.”
Cerita ditutup dengan afirmasi keduanya yang berjanji akan
terus saling mencintai.
“Annie,
Ms. Widmer was right. Remember—about the truth making one free? Annie—I’m free
now. I love you, I love you so much!”
Dan bisik Annie di kejauhan: “I love you too, Liza. Oh
God, I love you, too!”
Menjadi
utuh, sempurna
Sekilas
balik ke narasi Liza Winthorp pada Annie on My Mind.
Dalam gundah, suatu malam Liza beranjak ke ruang bawah rumahnya, ke rak buku di
mana ayahnya menyimpan ensiklopedianya. Liza mencari arti kata ‘Homosexuality’, tapi hanya harus kecewa karena tak
banyak memperoleh apa yang ia alami. Kisahnya:
“Yang
paling mengejutkanku, adalah, dalam keseluruhan artikel panjang itu, kata
‘cinta’ tidak dipakai sekali pun. Itu membuatku gusar; sepertinya siapa pun
yang menulis artikel itu tidak tahu bahwa insan gay
benar-benar saling mencintai. Penulis ensiklopedia itu harus bepekara kepadaku,
pikirku saat aku kembali tidur; aku bisa menceritakan sesuatu tentang cinta.”
Suatu
hari, terbaring sakit di tempat tidurnya, pikiran Liza menerawang ke masa ia
baru masuk sekolah: “Ada legenda Yunani—bukan, itu adalah sesuatu yang ditulis
oleh Plato—tentang betapa sesungguhnya sepasang kekasih sejati merupakan dua
bagian dari orang yang sama. Dtuturkan bahwa orang-orang berkelana mencari
belahan jiwanya, dan ketika mereka menemukannya, demikianlah mereka menjadi
utuh dan sempurna. Hal yang membuat aku memahaminya karena legenda itu
mengisahkan bahwa pada awalnya semua orang adalah pasangan sejati, terjalin
satu sama lain, di mana terkadang merupakan pria dan pria, beberapa di
antaranya wanita dengan wanita, dan yang lain pria dengan wanita. Apa yang
terjadi kemudian adalah bahwa semua pasangan ini berperang melawan para dewa,
dan dewa, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka, memisahkan mereka semua
menjadi dua bagian. Itulah sebabnya beberapa pasangan ada yang heteroseksual,
dan ada pula yang homoseksual, wanita dan wanita, atau pria dan pria.”
Falsafah
cinta Plato sebagaimana tertuang di dalam Phaedrus[i]
dan Simposium[ii], digambarkan oleh Neel
Burton, psikiatris, filosof, dan penulis sejumlah buku, demikian:
Tak
seperti Aristoteles yang tak begitu tertarik mempercakapkan erôs (cinta erotik) dan lebih menyukai membahas philia (persahabatan), bagi Plato, persahabatan terbaik
adalah yang terjalin di antara sepasang kekasih. Itu bagai philia yang lahir dari erôs, dan
pada gilirannya kembali ke erôs demi
untuk memperteguh dan mengembangkan pertemanan.
Sebagaimana halnya filsafat,
tujuan erôs adalah demi melampaui keberadaan manusia, dengan
menghubungkannya pada yang abadi (eternal) dan maha besar (infinite). Tidak hanya memperkuat dan
mengembangkan persahabatan, philia juga
mengubah hasrat memiliki menjadi gairah untuk berbagi, demi memperoleh
pengertian yang lebih dalam atas diri, orang lain, dan Alam Semesta. Dengan
kata lain, Philia mengubah erôs dari
nafsu memiliki menjadi impuls pada filosofi.
Plato
membedakan jenis cinta yang dapat menumbuhkan philia,
dari jenis cinta dasar, erôs,
yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang memberikan cintanya lebih kepada
raga daripada ke jiwa. Alih-alih mendukung pencarian kebenaran (filosofi),
jenis cinta dasar ini justru menghalanginya.
Walau
gagasan ini disenandungkannya baik di dalam Phaedrus maupun Symposium,
namun sementara di Phaedrus Plato
menggarisbawahi hubungan cinta kepada yang ilahi, dan karenanya sampai kepada
yang abadi dan tak terbatas, di dalam Symposium ia
lebih menekankan pada relasinya ke filsafat, penjelajahan kebahagiaan, dan
perenungan akan kebenaran.
Seperti
banyak orang Yunani lain di era dan pada tataran sosial yang sama, Plato sangat
tertarik pada gairah seks sesama jenis, yang bisa timbul di antara pria yang
lebih tua dengan yang lebih muda—walau tak beralasan menganggap teori cintanya
itu tak berlaku bagi jenis relasi erotik beda jenis.
Cinta
erotik yang ditransformasi menjadi jalinan persahabatan yang terbaik, akan
mengantar sepasang kekasih ke kehidupan penuh kebahagiaan di mana hasrat hati,
gairah persahabatan, dan impuls pada filosofi berkelindan dengan sempurna.
“Every heart sings a song, incomplete,
until another heart whispers back. Those who wish to sing always find a song.
At the touch of a lover, everyone becomes a poet.” —Plato
———
[i] Phaedrus ditulis oleh Plato, merekam dialog antara Plato
sebagai protagonis, dengan Socrates, dan Phaedrus, seorang teman berdiskusi
dalam beberapa dialog. Phaedrus diperkirakan
terbit sekitar 370 SM, kurang lebih pada saat yang sama dengan karyanya yang
lain, Republic dan Symposium.[1]
Meski seolah-olah tentang cinta, diskusi dalam dialog ini sesungguhnya berpusar
pada seni retorika serta bagaimana mempraktikkannya, dan mengenai beragam
subyek seperti metempsychosis (tradisi
reinkarnasi Yunani) serta cinta erotik. (Wikipedia)
[ii] Symposium adalah naskah filosofis Plato dari sekitar
385-370 SM. Teks ini menggambarkan terselenggaranya sebuah kontes pidato
persahabatan yang tidak dipersiapkan lebih dulu, disampaikan oleh sekelompok
warga terkemuka (crème de la crème) yang
tengah menghadiri sebuah jamuan makan. Termasuk di antaranya, filsuf Socrates,
perwira dan politikus Alcibiades, dan penulis drama komedi Aristophanes. Pidato
tersebut harus ditujukan untuk memuji Erôs,
yang merupakan dewa cinta dan nafsu, putra Aphrodite. Dalam Symposium, Erôs
dilihat sebagai cinta erotik, sebagai fenomena yang mampu menginspirasi
keperkasaan, keberanian, perbuatan atau pekerjaan hebat, dan mampu menaklukkan
ketakutan alami manusia akan kematian. Ini dipandang sebagai melampaui asal-usul
manusia, serta mencapai ketinggian spiritual. (Wikipedia)
***
———
Referensi
Nancy Garden. 1982. Annie on My Mind,
Farrar, Straus and Giroux.
Annie on My Mind. Wikipedia, en.wikipedia.org (diakses 26 Juni
2017).
Janet Alsup (ed.). 2010. Young Adult Literature and Adolescent
Identity Across Cultures and Classrooms. Routledge.
Neel Burton M.D. 2012. Plato on True Love. Psychology Today, psychologytoday.com (diakses 6
Juli 2017).
Phaedrus (dialogue). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli
2017).
Symposium (Plato). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli
2017).
———
Tulisan lainnya di sini.