Saturday, July 8, 2017

Mengonstruksi Identitas Diri dengan Narasi


Mencari kebenaran lewat narasi

We touched each other more easily—just kissed or held hands or hugged each other, though—nothing more than that. We didn’t really talk much about being gay; most the time we just talked about ourselves.” —Sepenggal narasi Liza Winthrop, dalam novel Annie on My Mind, Nancy Garden, 1982

Liza Winthrop, mengenang perjumpaan pertamanya dengan Annie Kanyon suatu hari saat hujan deras di Metropolitan Museum of Art. Liza, 17 tahun, tinggal di lingkungan kelas atas Brooklyn Heights, sementara Annie yang seusia dengannya, tinggal di lingkungan kumuh di Manhattan. Liza belajar di sekolah swasta, Foster Academy dengan cita-cita bisa melanjutkan studinya ke MIT dan menjadi seorang arsitek. Annie pergi ke sekolah negeri dan berharap bisa kuliah di Universitas California, Berkeley untuk mengembangkan bakatnya sebagai penyanyi.

Meski latar belakang sosialnya berbeda, keduanya segera menjadi akrab. Menunggu hujan berhenti, mereka bercakap-cakap dengan berpura-pura memerankan sepasang ksatria yang bertunangan, seakan-akan dialognya berasal dari sebuah naskah yang ditulis khusus bagi mereka.

Namun peran yang mereka bawakan dalam dongeng itu kemudian berlanjut di keseharian mereka. Persahabatan Liza dan Annie bertumbuh seiring dengan adegan-adegan dramatis yang “disodorkan oleh naskah” itu, yang memungkinkan Liza mencermati perkembangan identitas seksualnya. Mereka terjalin intim dalam narasi fiksi yang mereka reka bersama, sampai tiba saatnya Annie menyangkalnya: “No, I don’t want to do that with you any more... I don’t want to pretend any more. You make me—want to be real.

Namun, saat Liza marah pada Annie, Annie berbalik kembali ke moda dongeng: “Maukah Putri Liza datang menumpang gerobak magis petani yang hina ini? Kami akan memperlihatkan kepadanya keajaiban kaum gipsi, burung camar, gua bersinar, dan Jembatan Triborouhg.” Kegusaran Liza pun mereda dan betapa leganya ia mengetahui bahwa “hubungan mereka baik-baik saja”. Realitas, tampaknya agak terlalu “keras” bagi keduanya dalam mengelola jalinan ketertarikan keduanya satu sama lain.

Begitu Liza mengucapkan kata-kata ”I think I love you” ke Annie, ia menyadari, “Aku mendengar sendiri diriku mengatakannya, seakan-akan aku ini orang lain, tapi saat ucapan itu keluar, aku tahu lebih dari yang kuketahui sebelumnya bahwa kata-kata itu benar adanya’. Kasih sayangnya terhadap Annie rupanya belum disadarinya sampai ia mengucapkan kata-kata itu; pernyataan cintanya kepada Annie itu lalu membangunkan identitasnya sebagai perempuan yang jatuh cinta kepada perempuan lain.

Liza berulang kali menimbang ucapannya itu: “Segera sesudahnya, tak terasa berat lagi mengatakannya—pada diriku sendiri, maksudku juga seterusnya kepada Annie—dan menerima kata-kata yang sama dari Annie, ‘It scares me, too, Annie... but not because I think it’s wrong or anything—at least I don’t think it’s that. It’s—it’s mostly because it’s so strong, the love and the friendship and every part of it.’”

Liburan Thanksgiving memberi kesempatan pada kedua anak perempuan itu untuk lebih dekat lagi dan menuntun kepada ciuman pertama mereka. Kepada Liza, Annie mengakui bahwa dia mengira dirinya gay. Liza pun menyadari bahwa meski pun dia selalu menganggap dirinya berbeda, tapi dia belum mengetahui orientasi seksualnya sampai ia jatuh cinta kepada Annie.

Ketika dua guru wanita Liza, Stevenson dan Widmer (yang tinggal bersama) pergi berlibur selama liburan musim semi, Liza menjadi relawan yang mengurusi rumah mereka. Kedua gadis itu tinggal bersama di rumah itu, namun dalam kejadian tak terduga, seorang administrator Foster menemukan keduanya bersama. Liza terpaksa menceritakan kepada keluarganya tentang hubungannya dengan Annie, dan kepala sekolahnya mengadakan pertemuan di antara dewan pengawas sekolah untuk mengeluarkan Liza. Ternyata dewan mendukung Liza dan mengizinkannya tetap bersekolah di situ, tapi kedua gurunya yang diketahui sebagai gay, dipecat.

Setelah awalnya kaget mengetahui gadis-gadis itu tinggal bersama di rumah mereka, kedua guru itu sangat mendukung dan berusaha meyakinkan Liza untuk tidak khawatir tentang pemecatan mereka. Namun munculnya sejumlah respons negatif terhadap dirinya, mendorong Liza akhirnya meninggalkan Annie. Kedua gadis itu berpisah dan masing-masing melanjutkan sekolahnya di negara bagian yang berjauhan. 


1. Desain sampul Annie on My Mind, edisi 1992.

Menurut Garden, perubahan desain sampul dari tahun ke tahun mencerminkan berlangsungnya perubahan pandangan terhadap insan gay. Ilustrasi sampul awal menggambarkan Annie, mengenakan jubah hitam, dan Liza, berdiri jauh dari Annie, di Esplanade, Brooklyn menghadap ke pelabuhan. Komentar Garden, “terlihat seolah-olah Annie sedang menukik ke arah Liza, seperti vampir yang akan menyerang. Meski sampul itu tak pernah digunakan, beberapa rancangan berikutnya pun gagal menunjukkan gadis-gadis itu dalam relasinya.” Garden lebih menyukai sampul yang dirilis oleh Farrar, Straus and Giroux pada 1992, yang telah digunakan kembali dalam terbitan selanjutnya, menunjukkan ”kedua gadis itu benar-benar saling berhubungan satu sama lain,” demikian Garden.

Sumber gambar: Wikipedia.


Menerima kebenaran, membebaskan

To me, it’s not who you love… a man, a woman, what have you… it’s the fact that you love. That is all that truly matters.” —Al Pacino

Sesudah membaca surat dari Annie, yang mengungkapkan pengertiannya bila Liza merasa tak nyaman dan tak ingin menemuinya lagi, Liza pun mulai mengevaluasi kembali identitasnya: “Betul bahwa aku tak sepenuhnya sadar memikirkan untuk menjadi gay. Tapi juga benar jika aku memang gay, keduanya tak saja menjelaskan apa yang terjadi selama ini antara aku dan Annie serta perasaanku kepadanya, namun juga banyak hal dalam hidupku sebelum aku mengenalnya—segala hal yang tak pernah kupikirkan lebih jauh sebelumnya.”

Memikirkan untuk menjadi gay, menceritakan kisah ketertarikannya pada Annie, dan menulis surat untuk Annie (yang tak pernah dikirimkannya) menolong Liza “menyelesaikan banyak hal” dalam hidupnya; dengan kata lain, keterikatannya pada aktivitas dikursusnya telah membantunya mengonstruksi identitasnya sebagai lesbian.

Tapi pelabelan itu dinilainya tak sedap. Liza tak pernah nyaman dengan istilah “gay” dan “lesbian”. Dalam sebuah perbincangan dengan Annie, Liza mengatakan,  Annie, I—I love you, it’s crazy, but thats the one thing I am sure of. Maybe—well, maybe the other, being gay, having that—that label, just takes getting used to, but, Annie, I do love you.” Jelas, aktivitas bercakap-cakap dan menulis merupakan komponen penting pada pengembangan identitas Liza; ia membangun dan memahami identitas dirinya melalui tulisan-tulisannya dan dalam percakapannya dengan Annie. Ketaknyamanannya dengan label itu bisa jadi merupakan pemahaman yang tak diartikulasikannya bahwa mencintai Annie tak harus membuatnya menjadi gay, mungkin menyebabkannya jadi berbeda saja.

Kegandrungan Liza pada cerita Plato mengenai sepasang kekasih yang sebenarnya adalah dua bagian dari orang yang sama, lebih jauh menjelaskan nilai-nilai yang dipercayainya ada pada kekuatan narasi dalam mengonstruksi identitas: “Aku mencintai kisah itu sejak pertama kali mendengarnya—di tahun-tahun awal aku bersekolah, kupikir—itu karena terasa adil, dan benar, juga bijaksana.” Pertalian antara narasi dan identitas menjadi semakin kuat dirasa ketika Annie dan Liza menemukan sebuah buku homoseksualitas tersembunyi di rumah kedua gurunya itu.

“Tidak baik bagi kita memiliki rasa takut terlihat membaca buku yang kita berhak membacanya... Liza, janganlah begitu. Jangan takut atau malu membeli buku, dan ketika kita membelinya, janganlah menaruhnya di tempat tersembunyi. Itu tidak jujur, tidak benar, dan adalah penyangkalan atas segala hal yang kita rasakan satu sama lain.”

Jelang akhir cerita, Liza menjadari dampak keengganannya mengontak Annie selama ini terhadap hubungan mereka: “Enam bulan berhenti menulis—itu sungguh terasa berbeda.” Perbedaannya tentu saja adalah pada stagnannya perkembangan identitas seksualnya. Pada saat diskursus tak lagi hadir, perkembangan identitas visualnya tinggallah statis. Ia insaf harus membangun kembali relasinya dengan Annie, dengan menulis atau bercakap-cakap. Tapi daripada menulis surat yang dirasanya cenderung fragmentaris, Liza memutuskan untuk menelepon Annie. Tak banyak kata mengalir dari keduanya, kecuali luapan perasaan dua insan yang bertaut kembali.

I—yes. Annie—sorry. I—I’m crying—it’s so good to hear your voice again.

I know, I’m crying, too.

Cerita ditutup dengan afirmasi keduanya yang berjanji akan terus saling mencintai.

Annie, Ms. Widmer was right. Remember—about the truth making one free? Annie—I’m free now. I love you, I love you so much!

Dan bisik Annie di kejauhan: “I love you too, Liza. Oh God, I love you, too!

 

2. Fragmen Phaedrus dalam gulungan papirus dari abad ke-2 M.

Sumber gambar: WikiCommons.

Menjadi utuh, sempurna
Sekilas balik ke narasi Liza Winthorp pada Annie on My Mind. Dalam gundah, suatu malam Liza beranjak ke ruang bawah rumahnya, ke rak buku di mana ayahnya menyimpan ensiklopedianya. Liza mencari arti kata ‘Homosexuality’, tapi hanya harus kecewa karena tak banyak memperoleh apa yang ia alami. Kisahnya:

“Yang paling mengejutkanku, adalah, dalam keseluruhan artikel panjang itu, kata ‘cinta’ tidak dipakai sekali pun. Itu membuatku gusar; sepertinya siapa pun yang menulis artikel itu tidak tahu bahwa insan gay benar-benar saling mencintai. Penulis ensiklopedia itu harus bepekara kepadaku, pikirku saat aku kembali tidur; aku bisa menceritakan sesuatu tentang cinta.”

Suatu hari, terbaring sakit di tempat tidurnya, pikiran Liza menerawang ke masa ia baru masuk sekolah: “Ada legenda Yunani—bukan, itu adalah sesuatu yang ditulis oleh Plato—tentang betapa sesungguhnya sepasang kekasih sejati merupakan dua bagian dari orang yang sama. Dtuturkan bahwa orang-orang berkelana mencari belahan jiwanya, dan ketika mereka menemukannya, demikianlah mereka menjadi utuh dan sempurna. Hal yang membuat aku memahaminya karena legenda itu mengisahkan bahwa pada awalnya semua orang adalah pasangan sejati, terjalin satu sama lain, di mana terkadang merupakan pria dan pria, beberapa di antaranya wanita dengan wanita, dan yang lain pria dengan wanita. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa semua pasangan ini berperang melawan para dewa, dan dewa, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka, memisahkan mereka semua menjadi dua bagian. Itulah sebabnya beberapa pasangan ada yang heteroseksual, dan ada pula yang homoseksual, wanita dan wanita, atau pria dan pria.”

Falsafah cinta Plato sebagaimana tertuang di dalam Phaedrus[i] dan Simposium[ii], digambarkan oleh Neel Burton, psikiatris, filosof, dan penulis sejumlah buku, demikian:

Tak seperti Aristoteles yang tak begitu tertarik mempercakapkan erôs (cinta erotik) dan lebih menyukai membahas philia (persahabatan), bagi Plato, persahabatan terbaik adalah yang terjalin di antara sepasang kekasih. Itu bagai philia yang lahir dari erôs, dan pada gilirannya kembali ke erôs demi untuk memperteguh dan mengembangkan pertemanan.

Sebagaimana halnya filsafat, tujuan erôs adalah demi melampaui keberadaan manusia, dengan menghubungkannya pada yang abadi (eternal) dan maha besar (infinite). Tidak hanya memperkuat dan mengembangkan persahabatan, philia juga mengubah hasrat memiliki menjadi gairah untuk berbagi, demi memperoleh pengertian yang lebih dalam atas diri, orang lain, dan Alam Semesta. Dengan kata lain, Philia mengubah erôs dari nafsu memiliki menjadi impuls pada filosofi.

Plato membedakan jenis cinta yang dapat menumbuhkan philia, dari jenis cinta dasar, erôs, yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang memberikan cintanya lebih kepada raga daripada ke jiwa. Alih-alih mendukung pencarian kebenaran (filosofi), jenis cinta dasar ini justru menghalanginya.

Walau gagasan ini disenandungkannya baik di dalam Phaedrus maupun Symposium, namun sementara di Phaedrus Plato menggarisbawahi hubungan cinta kepada yang ilahi, dan karenanya sampai kepada yang abadi dan tak terbatas, di dalam Symposium ia lebih menekankan pada relasinya ke filsafat, penjelajahan kebahagiaan, dan perenungan akan kebenaran.

Seperti banyak orang Yunani lain di era dan pada tataran sosial yang sama, Plato sangat tertarik pada gairah seks sesama jenis, yang bisa timbul di antara pria yang lebih tua dengan yang lebih muda—walau tak beralasan menganggap teori cintanya itu tak berlaku bagi jenis relasi erotik beda jenis.  

Cinta erotik yang ditransformasi menjadi jalinan persahabatan yang terbaik, akan mengantar sepasang kekasih ke kehidupan penuh kebahagiaan di mana hasrat hati, gairah persahabatan, dan impuls pada filosofi berkelindan dengan sempurna.  

Every heart sings a song, incomplete, until another heart whispers back. Those who wish to sing always find a song. At the touch of a lover, everyone becomes a poet.” —Plato



———
[i] Phaedrus ditulis oleh Plato, merekam dialog antara Plato sebagai protagonis, dengan Socrates, dan Phaedrus, seorang teman berdiskusi dalam beberapa dialog. Phaedrus diperkirakan terbit sekitar 370 SM, kurang lebih pada saat yang sama dengan karyanya yang lain, Republic dan Symposium.[1] Meski seolah-olah tentang cinta, diskusi dalam dialog ini sesungguhnya berpusar pada seni retorika serta bagaimana mempraktikkannya, dan mengenai beragam subyek seperti metempsychosis (tradisi reinkarnasi Yunani) serta cinta erotik. (Wikipedia)

[ii] Symposium adalah naskah filosofis Plato dari sekitar 385-370 SM. Teks ini menggambarkan terselenggaranya sebuah kontes pidato persahabatan yang tidak dipersiapkan lebih dulu, disampaikan oleh sekelompok warga terkemuka (crème de la crème) yang tengah menghadiri sebuah jamuan makan. Termasuk di antaranya, filsuf Socrates, perwira dan politikus Alcibiades, dan penulis drama komedi Aristophanes. Pidato tersebut harus ditujukan untuk memuji Erôs, yang merupakan dewa cinta dan nafsu, putra Aphrodite. Dalam Symposium, Erôs dilihat sebagai cinta erotik, sebagai fenomena yang mampu menginspirasi keperkasaan, keberanian, perbuatan atau pekerjaan hebat, dan mampu menaklukkan ketakutan alami manusia akan kematian. Ini dipandang sebagai melampaui asal-usul manusia, serta mencapai ketinggian spiritual. (Wikipedia)


***


———
Referensi

Nancy Garden. 1982. Annie on My Mind, Farrar, Straus and Giroux.

Annie on My Mind. Wikipedia, en.wikipedia.org (diakses 26 Juni 2017).

Janet Alsup (ed.). 2010. Young Adult Literature and Adolescent Identity Across Cultures and Classrooms. Routledge.

Neel Burton M.D. 2012. Plato on True Love. Psychology Today, psychologytoday.com (diakses 6 Juli 2017).

Phaedrus (dialogue). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli 2017).

Symposium (Plato). Wikipedia, en.wikipedia.org (diaksese 6 Juli 2017).


———
Tulisan lainnya di sini

Friday, July 7, 2017

Mengarungi Samudra Gender dalam Tradisi Lokal


Serupa ucap perempuan
Ada suatu masa ketika saya berteman dengan seseorang, yang bagi saya, dan teman-teman saya lainnya, terasa ganjil. Ia seorang selebritis di lingkungan seni dan budaya, terutama di kalangan masyarakat kelas atas (crème de la crème). Penampilan sehari-harinya gagah, selalu berjalan tegak menengadah, dengan langkah cukup tegap, tatapannya pun tajam; tetapi saat bercakap-cakap muncullah sesekali gerakan tubuh yang tak sesuai dengan gendernya. Rumor di sekitar kami mengatakan dia gay, tapi saya dan juga beberapa teman lainnya yang dekat dengannya, tak pernah menyinggung hal itu di depannya. Kami seperti sepakat bahwa itu adalah urusan pribadinya, tak seharusnya kami mencampurinya. Kami berpura-pura tak tahu apa-apa, dan segala urusan sehari-hari berjalan baik-baik saja.

Tentu ada saja suatu waktu di mana dia tak ada, kami pun mempergunjingkannya. Melihat sosok teman-temannya yang sejenis, saya pernah merasani, “Kok tampilan mereka rata-rata seperti orang Yunani ya?” Yang sempat ditimpali oleh salah seorang teman, “Itu tidak salah, karena Yunani memang asal muasal homoseksual.” Walau pernyataan ini terkesan menyederhanakan dan bisa diperdebatkan, saya tak memperpanjangnya. 

Suatu sore, saya diajak oleh teman saya yang gay itu ke rumah salah seorang teman yang juga dikenal sebagai gay untuk suatu urusan bisnis. Itu menjadi saat pertama saya menyaksikan sendiri perubahan dramatis dari seseorang yang sehari-harinya berpenampilan lelaki tiba-tiba berucap serupa perempuan. Saya terkejut melihat teman saya yang beberapa menit sebelumnya masih berbicara dengan nada dan sikap pria, ketika berhadapan dengan sesama jenisnya bisa seperti lunglai dan sontak menjadi gemulai. Untuk sesaat saya tak lagi bisa mengenali teman saya itu. Seperti ada pribadi liyan yang tengah merasuki tubuhnya. Saya sangat syok!

Dan ketika untuk kedua kalinya saya diajak mengunjungi rumah temannya itu lagi, kali ini untuk suatu jamuan makan malam, serta merta saya menolaknya. Saya masih trauma dengan pengalaman yang lalu. Ia bersikeras, bahkan menjemput saya jelang acara dimulai. Saya tetap menolaknya. Pergi dengan setengah kesal dari rumah saya, rupanya ia berhasil mengajak teman lainnya, seorang  bulé yang berprofesi sebagai desainer lanskap. Keesokan harinya, ketika saya berjumpa dengan teman bulé itu, ia menyatakan penyesalannya telah menghadiri acara itu. Ia menyatakan keterkejutan yang sama, dan bercerita betapa ia seperti terisolasi malam itu di kerumunan insan kemayu.

Menebar gulita
Puluhan tahun sesudahnya, pandangan masyarakat pada umumnya terhadap kaum LGBT ini belum juga banyak bergeser. Termasuk pandangan saya, hingga (berkat Robert Wilson)[i] saya boleh menyapa naskah sakral Sureq Galigo (yang dituliskan di abad ke-13–15)[ii], dan mengetahui sedikit mengenai keberadaan bissu[iii].

Kondisi nya terasa fluktuatif , meluas dan menyempit sepanjang jalan. Telah bertumbuh gerakan-gerakan moral mendukungnya, tapi penolakan terhadap eksistensi mereka juga semakin keras. Bahkan dari kalangan pejabat publik tingkat atas. Juga dari organisasi keagamaan, dan berbagai kelompok intoleran. Ada suatu masa di mana masyarakat bisa menerima kehadiran para selebritis laki-laki berpakaian perempuan di panggung komedi atau layar lebar. Tapi juga ada banyak masa-masa yang menunjukkan hal sebaliknya. Dunia kita ini telah begitu kaku mengatur pengelompokan jenis kelamin, ekspresi gender, identitas gender, dan orientasi seksual ke kategori serba biner: pria atau wanita, gay atau straight, dan sulit menerima perbedaan.

Komunitas LGBT bahkan sudah harus mengalami diskriminasi sejak kanak-kanak. Sekolah memiliki sejarah panjang dalam memperkuat persepsi biner tentang jenis kelamin siswanya. Bahkan sebelum anak-anak memasuki sekolah pertama kalinya, orang tua atau walinya diminta untuk mencentang di kotak ‘pria atau wanita’ pada formulir pendaftaran. Pada hari pertama sekolah, para guru mungkin akan memisahkan anak laki-laki dan perempuan di barisnya masing-masing. Toilet ditandai untuk anak laki-laki dan perempuan. Bayangkan menjadi seorang siswa transgender yang harus mengalami dehidrasi demi menghindari penggunaan kamar kecil untuk anak perempuan sepanjang hari, atau yang putus sekolah gara-gara dibombardir dengan pelecehan verbal atau fisik atas ekspresi orientasi seksualnya. Di mana-mana ada ekspektasi tentang permainan dan pakaian seperti apa yang tepat untuk siapa, tentang siapa yang secara alamiah memiliki sifat kasar dan sebaliknya. Seiring bertambahnya usia, mereka menjadi sasaran harapan atas kegiatan ekstrakurikulernya, gaya berpakaian, bahkan perguruan tinggi dan karier apa yang didorong untuk mereka raih setelah lulus.

Ketidaktahuan, ditambah dengan kurangnya informasi, pada sebagian besar orang bahwa mereka ini varian dari identitas yang default, berlangsung di mana-mana, dengan sangat sedikit pengecualian[iv]. Padahal, individu yang tinggal dengan nyaman di luar ekspektasi dan identitas pria/wanita yang khas, bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Calabai dan calalai di Sulawesi Selatan, two-spirit yang ditemukan di beberapa budaya pribumi Amerika, dan hijra di India, adalah beberapa di antaranya yang mewakili pemahaman gender yang lebih kompleks daripada model biner. Setidaknya tujuh negara termasuk Australia, Bangladesh, Jerman, India, Nepal, Selandia Baru, dan Pakistan mengakui eksistensi gender ketiga pada dokumen legalnya. Seiring orang-orang di seluruh dunia menggunakan beragam istilah untuk mengomunikasikan identitas gender mereka, Facebook kini menawarkan kepada para penggunanya 52 pilihan untuk menentukan jenis kelamin mereka.

Barulah matahari bersinar cerah

“Ia datang malam hari dan tak dapat ditangkap oleh lelaki atau perempuan tulen, hanya oleh waria.” —Puang Matoa Saidi, Bahasa Para Dewa (I La Galigo, 2011)

Sistem biner hanya mengakui adanya dua jenis gender, wanita (woman) dan pria (man); serta dua jenis kelamin biologis, perempuan (female) dan laki-laki (male). Tapi tradisi Bugis mengenal eksistensi lima jenis kelamin, yaitu: oroane (laki-laki); makunrai (perempuan); calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan bissu, perempuan atau laki-laki yang dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis gender itu (no-gender). Dr. Gregory Acciaioli, antropolog Amerika Serikat yang mengajar di Universitas Western Australia, membayangkan sistem gender Bugis ini sebagai piramida, dengan bissu di puncak, dan laki-laki, perempuan, calalai, dan calabai di empat sudut dasar (Graham, 2007).

Naskah Sureq Galigo menunjukkan bahwa munculnya bissu di Bone diawali ketika Raja Luwuq (kerajaan tempat lahir budaya Bugis) diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka kemudian diturunkanlah pula bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Di pundak bissu inilah semua upacara keagamaan, untuk memuja Sang Pencipta, dibebankan. (Masgabah, 2017). Kedatangan bissu pertama ke bumi digambarkan dalam fragmen ini:

Meski matahari tepat di atas kepala,
tak berbayang sinarnya di Barat
tak tampak cahayanya di Timur.
bagaikan dibendung cahaya matahari.
Bumi gelap gulita,
telapak tangan tak tampak,
pun tak terlihat wajah manusia.
Badai datang tanpa henti,
sabung-menyabung bunyi guntur,
sambar-menyambar lidah petir,
meluap-luap nyala kilat dewata.
Diusung badai Puang ri Lae-Lae
yang tinggal di lereng gunung Latimojong.
Diturunkan pula Wé Salareng dan Wé Appang Langiq,
Bissu yang dikukuhkan di Leteng Nriuq.
Setelah mendarat Puang Matoa
di lereng gunung Latimojong,
barulah badai dihentikan,
petir dan guntur berbalasan
dipadamkan, pun kilat menyala-nyala.
Barulah matahari bersinar cerah.

Para Bissu Datang dari Dunia Atas, Cuplikan dari Sureq Galigo (I La Galigo, 2011)


1. Naskah Sureq Galigo versi abad ke-19.

Epos ini berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada acara-acara tradisional Bugis. Versi tertulisnya yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, sementara versi-versi sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim, atau perusakan. Akibatnya, tak ada lagi versinya yang pasti dan lengkap. Namun bagian-bagian yang telah diawetkan pun sedikitnya ada 6.000 halaman folio atau 300.000 baris teks, dituliskan dalam aksara Bugis dalam bahasa adiluhung, membuat Sureq Galigo sebagai salah satu karya sastra terbesar dunia.

Sumber gambar: WikiCommons.

Sosok bissu bisa dibayangkan sebagai insan hermaproditik yang mengandung elemen laki-laki dan perempuan sekaligus. Pakaiannya pun khusus, menonjolkan karakteristik perempuan dan laki-laki bersama-sama. Seorang bissu bisa saja membawa sebilah badi’, senjata kaum lelaki, serta menggabungkannya dengan bunga di rambutnya. Tidak hanya kombinasi atribut laki-laki dan perempuan, di dalam dirinya juga harus ada gabungan unsur manusia dan roh. Penting bagi bissu memiliki relasi yang baik dengan dunia roh agar bisa terhubung dengan para dewata dalam memenuhi tugasnya sebagai pendeta. Untuk itu, bissu harus menjadi bagian dari dewa. Agar bisa kerasukan arwah, dan supaya bisa memberikan berkatnya, bissu juga harus menjadi bagian dari manusia. Intinya, bissu adalah laki-laki/perempuan, dewa/manusia, yang bisa kesurupan oleh arwah agar bisa memberikan berkah.

Tanda-tanda menjadi bissu (kondisi terpanggil) ini biasanya sudah terungkap sejak kanak-kanak, terlihat pada bayi yang genitalnya ambigu. Tapi sekadar genitalia yang ambigu belum cukup memastikan seseorang akan menjadi bissu. Selain itu, ambiguitas ini juga tidak selalu tampak; seorang laki-laki normatif yang bisa menjadi bissu diyakini di dalamnya adalah wanita. Pada usia sekitar dua belas tahun, jika seorang anak menunjukkan hubungan yang dekat dengan dunia roh, dia akan dipersiapkan untuk menjadi seorang bissu. Di masa lalu, anak seperti itu akan ditempatkan magang di istana. Pada masa kini, ia akan magang secara individual. Setelah bertahun-tahun mengikuti pelatihan, seorang bissu magang akan menjalani sejumlah tes. Ini termasuk di antaranya, berbaring di atas rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum, atau bergerak. Jika ia bisa bertahan dan terbangun dari trance dalam keadaan fasih berbahasa bissu suci (Basa Bissu atau Bahasa Dewata, bahasa para dewa) dia akan diterima sebagai bissu (Graham, 2002).


2. Pemimpin para pendeta agama kuno pra-Islam yang non-gender (bissu), Puang Matoa Saidi (1958–2011).

Sebagai salah seorang bissu terakhir, Saidi dilibatkan sebagai narator utama dalam pentas teater, tari, dan musik I La Galigo,arahan Robert Wilson, yang pergelarannya telah dilangsungkan sejak 2004 di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. 

Sumber gambar: WikiCommons.


Sharyn Graham, peneliti dari Universitas Western Australia, memiliki keluasan mengamati penerimaan masyarakat Bugis pada peran dan fungsi bissu, calalai serta calabai dalam berbagai aspek kehidupan. Pada Agustus 1998, bersama sekelompok orang lainnya, ia terlibat dalam sebuah upacara di mana para bissu berlaku sebagai pemimpin upacara (priest). Dalam kesempatan ini, seorang ibu yang akan berziarah ke Mekkah membutuhkan restu dari arwah para leluhur sebelum berangkat. Untuk menghormati roh yang merasukinya, dan memberkati ziarah ibu itu, para bissu mempersembahkan ma’giri. Masing-masing bissu mengeluarkan kris (keris) dan menusukkannya ke tenggorokan mereka. Jika roh yang kuat telah merasukinya, dan dengan demikian berkatnya diberikan, keris tidak akan melukai mereka.

Sementara itu, seorang calalai, yang dari anatominya terlihat perempuan, sering menjalani peran dan fungsi yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Misalnya, seorang calalai bisa dijumpai sedang bekerja bersama-sama para lelaki sebagai pandai besi, membentuk kris, belati kecil, atau pisau lainnya. Ia memakai busana laki-laki, dan mengikatkan sarong (sarung) serta rambutnya dengan cara pria. Seorang calalai boleh jadi dapati tinggal bersama istri dan anak angkat mereka. Sementara ia bekerja dengan laki-laki, berpakaian seperti laki-laki, merokok, dan berjalan sendiri di malam hari, yang merupakan semua hal yang tidak dianjurkan bagi perempuan, calalai adalah perempuan dan karenanya tidak diperlakukan sebagai laki-laki. Ia juga tak ingin menjadi laki-laki. Ia tetaplah calalai. Anatominya yang perempuan, ditambah dengan pekerjaan, perilaku, dan seksualitasnya, memungkinkannya mengidentifikasi, dan diidentifikasi, sebagai calalai.

Calabai sebaliknya, secara anatomis laki-laki, dalam banyak hal mematuhi ekspektasi sebagai perempuan. Namun, calabai tidak menganggap dirinya perempuan, dan tidak dianggap perempuan. Mereka juga tidak ingin menjadi perempuan, baik dengan menerima batasan yang ditetapkan bagi perempuan seperti tidak pergi sendiri di malam hari, atau dengan mendesain ulang tubuh mereka melalui operasi.

Sementara calalai cenderung menyesuaikan diri dengan norma laki-laki, calabai menikmati peran khususnya di masyarakat Bugis. Jika ada pernikahan, calabai akan dilibatkan dalam pengorganisasiannya. Ketika tanggal pernikahan telah disepakati, keluarga akan mendekati calabai dan menegosiasikan rencana pernikahan. Calabai akan bertanggung jawab atas banyak hal, mulai dari menyiapkan dan mendekorasi tenda, mengatur kursi pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria, rias wajah untuk semua yang terlibat, dan makanan yang disajikan. Pada siang hari, beberapa calabai tetap berada di dapur menyiapkan makanan, sementara yang lain menjadi bagian dari resepsi, seperti mengantar tamu ke tempat duduk mereka (Graham 2007).

Sesungguhnya studi mengenai peran dan posisi bissu, calalai, dan calabai dalam masyarakat Bugis berpotensi memberi kontribusi substansial bagi pemahaman tentang bagaimana sebuah komunitas mengatur dan menafsirkan gender. Tak setiap masyarakat memaksakan hanya dua jenis gender, wanita dan pria, yang terikat masing-masing pada dua jenis kelamin biologis, perempuan dan laki-laki. Masyarakat Bugis mengakui adanya empat kategori gender, di samping gender kelima (meta-gender), yaitu kelompok bissu. Kecendekiaan masyarakat Bugis mengajarkan kepada kita mengenai penerimaan dan penghormatan pada hadirnya varian identitas gender di tengah kita. Bahwa mereka sesungguhnya sesama anak Semesta, bagian dari kehidupan yang penuh warna dan semarak di muka Bumi.

We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light.” —Plato




———
[i] Robert Wilson (l. 1941) adalah seorang pentolan teater eksperimental Amerika dan penulis naskah yang oleh media digambarkan sebagai seniman teater avant-garde terdepan dunia. Ia terkenal dengan karya kolaborasinya bersama komponis Philip Glass (l. 1937), Einstein on the Beach. (Wikipedia)

[ii] Sureq Galigo adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis yang terabadikan lewat tradisi lisan dan tulisan. Ia terekam dalam bentuk syair. Disampaikan di dalamnya kisah tentang sejarah, bahasa, dan cerita agung yang terkait dengan mitos. Ia juga merupakan salah satu epos terpanjang dalam sastra dunia. Sedikit saja yang tahu fakta mengejutkan bahwa salah satu warisan agung sastra dunia ini ditemukan di masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Bagi sebagian komunitas Bugis, bahkan hingga kini, kisah-kisah yang disampaikan dan tempat-tempat yang disebutkan di dalamnya sungguh nyata. Kisah itu kisah sejarah. Berkat pertunjukan teater Robert Wilson, I La Galigo yang dipentaskan di Singapura sejak 12 Maret 2004, dan kemudian kebeberapa negara, kini dunia internasional tahu apa sebetulnya Sureg Galigo yang telah nyaris punah itu. Bedanya, pentas I La Galigo adalah pengalaman audio visual dan non-tekstual, sementara Sureq Galigo adalah karya tekstual. (Roger Tol, 2011: 27–33)

[iii] Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianut oleh komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan di Pulau Sulawesi, Indonesia. Golongan Bissu umumnya disebut “di luar batasan gender”, suatu “makhluk yang bukan laki-laki atau perempuan”, atau sebagai “memiliki peran ritual”, di mana mereka “menjadi perantara antara manusia dan dewa”. (Wikipedia)

[iv] Prof. Irwanto, PhD, guru besar Fakultas Psikologi, Universitas Atma Jaya, Jakarta, dan peneliti aktif untuk berbagai persoalan stigma dan diskriminasi, menjelaskan fenomena LGBT dengan analogi ikan lele yang banyak jenisnya tapi tidak ada yang persis sama. Menurutnya, ilmu biologi tidak pernah hanya mengidentifikasi dua jenis seks, tapi ada pula jenis ketiga yang hermaproditik, yang merupakan khalayak yang memiliki dua alat kelamin. (Prof. Irwanto, 2016).
 
Demikian pula halnya dengan organisasi kesehatan dunia WHO, yang telah menyatakan bahwa LGBT bukan fenomena sakit jiwa melainkan varian biasa dari seksualitas manusia. (Jurnal Perempuan, 2015)


***


———
Referensi

Sharyn Graham. 2002. Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia. International Institute for Asian Studies, iias.asia (diakses 30 Juni 2017).

Sharyn Graham. 2007. Sulawesi’s fifth gender. Inside Indonesia, .insideindonesia.org (diakses 2 Juli 2017).

Puang Matoa Saidi. 2011. Bahasa Para Dewa. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Cuplikan dari Sureq Galigo. 2011. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Gilbert Harmonie. 2011. Pendeta Bissu, antara Mitos dan Kenyataan. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Roger Tol. 2011. Puisi Sureq Galigo. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Masgabah. 2017. Eksisten Bissu di Bone dalam Mempertahankan Nilai Budaya Lokal di Kabupaten Bone. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel (diakses 4 Juli 2017).

Prof. Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran. 2016. Suara.com, www.suara.com (diakses 6 Juli 2017).

Keragaman Gender dan Seksualitas. 2015. Jurnal Perempuan, jurnalperempuan.org (diakses 28 Juni 2017).




———
Tulisan lainnya di sini.