Serupa
ucap perempuan
Ada suatu masa ketika saya berteman dengan seseorang, yang bagi saya, dan teman-teman saya lainnya, terasa ganjil. Ia seorang
selebritis di lingkungan seni dan budaya, terutama di kalangan masyarakat kelas
atas (crème
de la crème).
Penampilan sehari-harinya gagah, selalu berjalan tegak menengadah, dengan
langkah cukup tegap, tatapannya pun tajam; tetapi saat bercakap-cakap muncullah
sesekali gerakan tubuh yang tak sesuai dengan gendernya. Rumor di sekitar kami
mengatakan dia gay, tapi saya dan juga beberapa teman
lainnya yang dekat dengannya, tak pernah menyinggung hal itu di depannya. Kami
seperti sepakat bahwa itu adalah urusan pribadinya, tak seharusnya kami
mencampurinya. Kami berpura-pura tak tahu apa-apa, dan segala urusan
sehari-hari berjalan baik-baik saja.
Tentu ada saja suatu waktu di mana dia tak ada,
kami pun mempergunjingkannya. Melihat sosok teman-temannya yang sejenis, saya
pernah merasani, “Kok tampilan mereka rata-rata seperti orang Yunani ya?” Yang
sempat ditimpali oleh salah seorang teman, “Itu tidak salah, karena Yunani
memang asal muasal homoseksual.” Walau pernyataan ini terkesan menyederhanakan
dan bisa diperdebatkan, saya tak memperpanjangnya.
Suatu sore, saya diajak oleh teman saya yang gay itu ke rumah salah seorang teman
yang juga dikenal sebagai gay untuk suatu urusan bisnis. Itu menjadi saat pertama saya menyaksikan
sendiri perubahan dramatis dari seseorang yang sehari-harinya berpenampilan
lelaki tiba-tiba berucap serupa perempuan. Saya terkejut melihat teman saya
yang beberapa menit sebelumnya masih berbicara dengan nada dan sikap pria,
ketika berhadapan dengan sesama jenisnya bisa seperti lunglai dan sontak
menjadi gemulai. Untuk sesaat saya tak lagi bisa mengenali teman saya itu.
Seperti ada pribadi liyan yang tengah merasuki tubuhnya. Saya sangat syok!
Dan ketika untuk kedua kalinya saya diajak
mengunjungi rumah temannya itu lagi, kali ini untuk suatu jamuan makan malam,
serta merta saya menolaknya. Saya masih trauma dengan pengalaman yang lalu. Ia
bersikeras, bahkan menjemput saya jelang acara dimulai. Saya tetap menolaknya.
Pergi dengan setengah kesal dari rumah saya, rupanya ia berhasil mengajak teman
lainnya, seorang bulé yang
berprofesi sebagai desainer lanskap. Keesokan harinya, ketika saya berjumpa
dengan teman bulé itu, ia menyatakan penyesalannya telah menghadiri acara itu.
Ia menyatakan keterkejutan yang sama, dan bercerita betapa ia seperti
terisolasi malam itu di kerumunan insan kemayu.
Menebar
gulita
Puluhan tahun sesudahnya, pandangan masyarakat pada
umumnya terhadap kaum LGBT ini belum juga banyak bergeser. Termasuk pandangan
saya, hingga (berkat Robert Wilson)[i] saya boleh menyapa naskah sakral Sureq Galigo (yang dituliskan di abad
ke-13–15)[ii], dan mengetahui sedikit mengenai keberadaan bissu[iii].
Kondisi nya terasa fluktuatif , meluas dan
menyempit sepanjang jalan. Telah bertumbuh gerakan-gerakan moral mendukungnya,
tapi penolakan terhadap eksistensi mereka juga semakin keras. Bahkan dari
kalangan pejabat publik tingkat atas. Juga dari organisasi keagamaan, dan
berbagai kelompok intoleran. Ada suatu masa di mana masyarakat bisa menerima
kehadiran para selebritis laki-laki berpakaian perempuan di panggung komedi
atau layar lebar. Tapi juga ada banyak masa-masa yang menunjukkan hal
sebaliknya. Dunia kita ini telah begitu kaku mengatur pengelompokan jenis
kelamin, ekspresi gender, identitas gender, dan orientasi seksual ke kategori
serba biner: pria atau wanita, gay atau straight, dan sulit menerima perbedaan.
Komunitas LGBT bahkan sudah harus mengalami diskriminasi
sejak kanak-kanak. Sekolah memiliki sejarah panjang dalam memperkuat persepsi
biner tentang jenis kelamin siswanya. Bahkan sebelum anak-anak memasuki sekolah
pertama kalinya, orang tua atau walinya diminta untuk mencentang di kotak ‘pria
atau wanita’ pada formulir pendaftaran. Pada hari pertama sekolah, para guru
mungkin akan memisahkan anak laki-laki dan perempuan di barisnya masing-masing.
Toilet ditandai untuk anak laki-laki dan perempuan. Bayangkan menjadi seorang
siswa transgender yang harus mengalami dehidrasi demi menghindari penggunaan
kamar kecil untuk anak perempuan sepanjang hari, atau yang putus sekolah
gara-gara dibombardir dengan pelecehan verbal atau fisik atas ekspresi
orientasi seksualnya. Di mana-mana ada ekspektasi tentang permainan dan pakaian
seperti apa yang tepat untuk siapa, tentang siapa yang secara alamiah memiliki
sifat kasar dan sebaliknya. Seiring bertambahnya usia, mereka menjadi sasaran
harapan atas kegiatan ekstrakurikulernya, gaya berpakaian, bahkan perguruan
tinggi dan karier apa yang didorong untuk mereka raih setelah lulus.
Ketidaktahuan, ditambah dengan kurangnya informasi,
pada sebagian besar orang bahwa mereka ini varian dari identitas yang default, berlangsung di mana-mana, dengan
sangat sedikit pengecualian[iv]. Padahal, individu yang tinggal dengan nyaman
di luar ekspektasi dan identitas pria/wanita yang khas, bisa ditemukan di
berbagai belahan dunia. Calabai dan calalai di Sulawesi Selatan, two-spirit yang ditemukan di beberapa budaya
pribumi Amerika, dan hijra di India, adalah beberapa di
antaranya yang mewakili pemahaman gender yang lebih kompleks daripada model
biner. Setidaknya tujuh negara termasuk Australia, Bangladesh, Jerman, India,
Nepal, Selandia Baru, dan Pakistan mengakui eksistensi gender ketiga pada
dokumen legalnya. Seiring orang-orang di seluruh dunia menggunakan beragam
istilah untuk mengomunikasikan identitas gender mereka, Facebook kini
menawarkan kepada para penggunanya 52 pilihan untuk menentukan jenis kelamin
mereka.
Barulah
matahari bersinar cerah
“Ia datang malam hari dan tak
dapat ditangkap oleh lelaki atau perempuan tulen, hanya oleh waria.” —Puang
Matoa Saidi, Bahasa
Para Dewa (I La Galigo, 2011)
Sistem biner hanya mengakui adanya dua jenis
gender, wanita (woman) dan pria (man); serta dua jenis kelamin
biologis, perempuan (female) dan laki-laki (male). Tapi tradisi Bugis mengenal
eksistensi lima jenis kelamin, yaitu: oroane (laki-laki); makunrai (perempuan); calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya
laki-laki); calabai (laki-laki yang berpenampilan
seperti layaknya perempuan); dan golongan bissu, perempuan atau laki-laki yang dianggap sebagai kombinasi
dari semua jenis gender itu (no-gender). Dr. Gregory Acciaioli, antropolog Amerika Serikat yang
mengajar di Universitas Western Australia, membayangkan sistem gender Bugis ini
sebagai piramida, dengan bissu di puncak, dan laki-laki,
perempuan, calalai, dan calabai di empat sudut dasar (Graham,
2007).
Naskah Sureq Galigo menunjukkan bahwa munculnya bissu di Bone diawali ketika Raja Luwuq
(kerajaan tempat lahir budaya Bugis) diturunkan dari langit. Karena tidak mampu
mengatur kehidupan di muka bumi maka kemudian diturunkanlah pula bissu sebagai penghubung antara manusia
dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Di pundak
bissu inilah semua upacara keagamaan,
untuk memuja Sang Pencipta, dibebankan. (Masgabah, 2017). Kedatangan bissu pertama ke bumi digambarkan dalam
fragmen ini:
Meski matahari tepat di atas
kepala,
tak berbayang sinarnya di Barat
tak tampak cahayanya di Timur.
bagaikan dibendung cahaya
matahari.
Bumi gelap gulita,
telapak tangan tak tampak,
pun tak terlihat wajah manusia.
Badai datang tanpa henti,
sabung-menyabung bunyi guntur,
sambar-menyambar lidah petir,
meluap-luap nyala kilat dewata.
Diusung badai Puang ri Lae-Lae
yang tinggal di lereng gunung
Latimojong.
Diturunkan pula Wé Salareng dan Wé
Appang Langiq,
Bissu yang dikukuhkan di Leteng Nriuq.
Setelah mendarat Puang Matoa
di lereng gunung Latimojong,
barulah badai dihentikan,
petir dan guntur berbalasan
dipadamkan, pun kilat
menyala-nyala.
Barulah matahari bersinar cerah.
—Para Bissu Datang dari Dunia Atas,
Cuplikan dari Sureq Galigo (I
La Galigo, 2011)
Sosok bissu bisa dibayangkan sebagai insan hermaproditik yang
mengandung elemen laki-laki dan perempuan sekaligus. Pakaiannya pun khusus,
menonjolkan karakteristik perempuan dan laki-laki bersama-sama. Seorang bissu bisa saja membawa sebilah badi’, senjata kaum lelaki, serta
menggabungkannya dengan bunga di rambutnya. Tidak hanya kombinasi atribut
laki-laki dan perempuan, di dalam dirinya juga harus ada gabungan unsur manusia
dan roh. Penting bagi bissu memiliki relasi yang baik dengan
dunia roh agar bisa terhubung dengan para dewata dalam memenuhi tugasnya
sebagai pendeta. Untuk itu, bissu harus menjadi bagian dari dewa. Agar bisa kerasukan arwah, dan supaya
bisa memberikan berkatnya, bissu juga harus menjadi bagian dari manusia. Intinya, bissu adalah laki-laki/perempuan,
dewa/manusia, yang bisa kesurupan oleh arwah agar bisa memberikan berkah.
Tanda-tanda menjadi bissu (kondisi terpanggil) ini biasanya sudah terungkap
sejak kanak-kanak, terlihat pada bayi yang genitalnya ambigu. Tapi sekadar
genitalia yang ambigu belum cukup memastikan seseorang akan menjadi bissu. Selain itu, ambiguitas ini juga
tidak selalu tampak; seorang laki-laki normatif yang bisa menjadi bissu diyakini di dalamnya adalah
wanita. Pada usia sekitar dua belas tahun, jika seorang anak menunjukkan hubungan
yang dekat dengan dunia roh, dia akan dipersiapkan untuk menjadi seorang bissu. Di masa lalu, anak seperti itu
akan ditempatkan magang di istana. Pada masa kini, ia akan magang secara
individual. Setelah bertahun-tahun mengikuti pelatihan, seorang bissu magang akan menjalani sejumlah
tes. Ini termasuk di antaranya, berbaring di atas rakit bambu di tengah danau
selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum, atau bergerak. Jika ia bisa
bertahan dan terbangun dari trance dalam keadaan fasih berbahasa bissu suci (Basa Bissu atau Bahasa Dewata, bahasa para dewa) dia akan diterima
sebagai bissu
(Graham, 2002).
Sharyn Graham, peneliti dari Universitas Western
Australia, memiliki keluasan mengamati penerimaan masyarakat Bugis pada peran
dan fungsi bissu, calalai serta calabai dalam berbagai aspek kehidupan. Pada Agustus 1998,
bersama sekelompok orang lainnya, ia terlibat dalam sebuah upacara di mana para
bissu berlaku sebagai pemimpin upacara
(priest). Dalam kesempatan ini, seorang
ibu yang akan berziarah ke Mekkah membutuhkan restu dari arwah para leluhur
sebelum berangkat. Untuk menghormati roh yang merasukinya, dan memberkati
ziarah ibu itu, para bissu mempersembahkan ma’giri. Masing-masing bissu mengeluarkan kris (keris) dan menusukkannya ke
tenggorokan mereka. Jika roh yang kuat telah merasukinya, dan dengan demikian
berkatnya diberikan, keris tidak akan melukai mereka.
Sementara itu, seorang calalai, yang dari anatominya terlihat
perempuan, sering menjalani peran dan fungsi yang pada umumnya dilakukan oleh
laki-laki. Misalnya, seorang calalai bisa dijumpai sedang bekerja bersama-sama para lelaki sebagai pandai
besi, membentuk kris, belati kecil, atau pisau
lainnya. Ia memakai busana laki-laki, dan mengikatkan sarong (sarung) serta rambutnya dengan
cara pria. Seorang calalai boleh jadi dapati tinggal bersama
istri dan anak angkat mereka. Sementara ia bekerja dengan laki-laki, berpakaian
seperti laki-laki, merokok, dan berjalan sendiri di malam hari, yang merupakan
semua hal yang tidak dianjurkan bagi perempuan, calalai adalah perempuan dan karenanya tidak diperlakukan
sebagai laki-laki. Ia juga tak ingin menjadi laki-laki. Ia tetaplah calalai. Anatominya yang perempuan,
ditambah dengan pekerjaan, perilaku, dan seksualitasnya, memungkinkannya
mengidentifikasi, dan diidentifikasi, sebagai calalai.
Calabai sebaliknya, secara anatomis laki-laki, dalam
banyak hal mematuhi ekspektasi sebagai perempuan. Namun, calabai tidak menganggap dirinya
perempuan, dan tidak dianggap perempuan. Mereka juga tidak ingin menjadi
perempuan, baik dengan menerima batasan yang ditetapkan bagi perempuan seperti
tidak pergi sendiri di malam hari, atau dengan mendesain ulang tubuh mereka
melalui operasi.
Sementara calalai cenderung menyesuaikan diri dengan norma laki-laki, calabai menikmati peran khususnya di
masyarakat Bugis. Jika ada pernikahan, calabai akan dilibatkan dalam pengorganisasiannya. Ketika tanggal
pernikahan telah disepakati, keluarga akan mendekati calabai dan menegosiasikan rencana
pernikahan. Calabai akan bertanggung jawab atas
banyak hal, mulai dari menyiapkan dan mendekorasi tenda, mengatur kursi
pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria, rias wajah untuk semua
yang terlibat, dan makanan yang disajikan. Pada siang hari, beberapa calabai tetap berada di dapur menyiapkan
makanan, sementara yang lain menjadi bagian dari resepsi, seperti mengantar
tamu ke tempat duduk mereka (Graham 2007).
Sesungguhnya studi mengenai peran dan posisi bissu, calalai, dan calabai dalam masyarakat Bugis berpotensi memberi kontribusi
substansial bagi pemahaman tentang bagaimana sebuah komunitas mengatur dan
menafsirkan gender. Tak setiap masyarakat memaksakan hanya dua jenis gender,
wanita dan pria, yang terikat masing-masing pada dua jenis kelamin biologis,
perempuan dan laki-laki. Masyarakat Bugis mengakui adanya empat kategori
gender, di samping gender kelima (meta-gender), yaitu kelompok bissu. Kecendekiaan masyarakat Bugis mengajarkan kepada
kita mengenai penerimaan dan penghormatan pada hadirnya varian identitas gender
di tengah kita. Bahwa mereka sesungguhnya sesama anak Semesta, bagian dari
kehidupan yang penuh warna dan semarak di muka Bumi.
“We can easily forgive a child who is
afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the
light.” —Plato
———
[i] Robert Wilson (l. 1941) adalah
seorang pentolan teater eksperimental Amerika dan penulis naskah yang oleh
media digambarkan sebagai seniman teater avant-garde terdepan dunia. Ia terkenal dengan karya
kolaborasinya bersama komponis Philip Glass (l. 1937), Einstein on the Beach. (Wikipedia)
[ii] Sureq Galigo adalah wiracarita mitos
penciptaan suku Bugis yang terabadikan lewat tradisi lisan dan tulisan. Ia
terekam dalam bentuk syair. Disampaikan di dalamnya kisah tentang sejarah,
bahasa, dan cerita agung yang terkait dengan mitos. Ia juga merupakan salah satu
epos terpanjang dalam sastra dunia. Sedikit saja yang tahu fakta mengejutkan
bahwa salah satu warisan agung sastra dunia ini ditemukan di masyarakat Bugis
dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Bagi sebagian komunitas Bugis, bahkan hingga
kini, kisah-kisah yang disampaikan dan tempat-tempat yang disebutkan di
dalamnya sungguh nyata. Kisah itu kisah sejarah. Berkat pertunjukan teater
Robert Wilson, I
La Galigo yang
dipentaskan di Singapura sejak 12 Maret 2004, dan kemudian kebeberapa negara,
kini dunia internasional tahu apa sebetulnya Sureg Galigo yang telah nyaris punah itu.
Bedanya, pentas I
La Galigo adalah
pengalaman audio visual dan non-tekstual, sementara Sureq Galigo adalah karya tekstual. (Roger
Tol, 2011: 27–33)
[iii]
Bissu adalah kaum pendeta yang tidak
mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianut
oleh komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan di
Pulau Sulawesi, Indonesia. Golongan Bissu
umumnya disebut “di luar batasan gender”, suatu “makhluk yang bukan laki-laki
atau perempuan”, atau sebagai “memiliki peran ritual”, di mana mereka “menjadi
perantara antara manusia dan dewa”. (Wikipedia)
[iv]
Prof. Irwanto, PhD, guru besar Fakultas Psikologi, Universitas Atma Jaya,
Jakarta, dan peneliti aktif untuk berbagai persoalan stigma dan diskriminasi,
menjelaskan fenomena LGBT dengan analogi ikan lele yang banyak jenisnya tapi
tidak ada yang persis sama. Menurutnya, ilmu biologi tidak pernah hanya
mengidentifikasi dua jenis seks, tapi ada pula jenis ketiga yang hermaproditik,
yang merupakan khalayak yang memiliki dua alat kelamin. (Prof. Irwanto, 2016).
Demikian pula halnya dengan organisasi
kesehatan dunia
WHO, yang telah menyatakan bahwa LGBT bukan fenomena sakit jiwa melainkan
varian biasa dari seksualitas manusia. (Jurnal Perempuan, 2015)
***
———
Referensi
Sharyn Graham. 2002. Sex, Gender, and Priests
in South Sulawesi, Indonesia. International Institute for Asian Studies, iias.asia (diakses
30 Juni 2017).
Sharyn Graham. 2007. Sulawesi’s fifth gender. Inside Indonesia,
.insideindonesia.org (diakses 2 Juli 2017).
Puang Matoa Saidi. 2011. Bahasa Para Dewa. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali
Purnati Foundation.
Cuplikan dari Sureq
Galigo. 2011. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali
Purnati Foundation.
Gilbert Harmonie. 2011. Pendeta Bissu, antara
Mitos dan Kenyataan.
I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali
Purnati Foundation.
Roger Tol. 2011. Puisi Sureq Galigo. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali
Purnati Foundation.
Masgabah. 2017. Eksisten Bissu di Bone
dalam Mempertahankan Nilai Budaya Lokal di Kabupaten Bone. Balai Pelestarian Nilai Budaya
Makassar, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel (diakses 4 Juli
2017).
Prof. Irwanto: Asal Mula
LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran. 2016. Suara.com, www.suara.com (diakses 6 Juli 2017).
Keragaman Gender dan Seksualitas. 2015. Jurnal Perempuan, jurnalperempuan.org (diakses 28 Juni 2017).
Keragaman Gender dan Seksualitas. 2015. Jurnal Perempuan, jurnalperempuan.org (diakses 28 Juni 2017).
———
Tulisan lainnya di sini.
No comments:
Post a Comment