Tuesday, November 29, 2016

Hidup Memang Tak Mudah, Tapi...

“Ada sesuatu yang penuh rahasia, tanpa awal tanpa akhir.
Kehadirannya mendahului adanya langit dan bumi.
Tidak bergerak, luas tak terbatas.
Tetap diam dalam kesendiriannya, tak pernah berubah.
Hadir di mana pun juga, tidak menyusut tidak meluntur.
Dia Ibu dari segala yang ada.
Dicari tak ditemukan, didengar tak terdengar, diraba tak teraba.
Dia bentuk tanpa wujud.
Hadir dalam ketidakhadiran.
Dia misteri dari puncak segala misteri.”

—Lao Tzu, Tao Te Ching, abad ke-6 SM

Peluncuran buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I pada 23 Januari 2016 itu semestinya merupakan momen yang membahagiakan. Betapa tidak, buku itu adalah buku pertama saya sepanjang perjalanan saya sebagai desainer. Sayangnya hal itu terusik oleh kondisi kesehatan yang sedang tidak baik. Sudah beberapa hari sebelumnya saya mengalami batuk-batuk. Sehingga saya harus minta bantuan rekan saya untuk membacakan naskah pengantar acara yang diadakan di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta itu. 

Batuk yang membandel juga seperti mengikuti saya terus di acara-acara bedah buku sesudahnya yang diadakan di berbagai perguruan tinggi seni dan desain di Indonesia. Kondisi yang tidak mengenakkan ini tentu saja menghantui saya di beberapa acara yang sempat saya hadiri di sepanjang Februari–Juli itu. 

Karena tidak kunjung membaik, bahkan memburuk, pada 13 Juli tengah malam saya ke UGD RS di dekat rumah saya. Kepada dokter yang bertugas saya menceritakan riwayat sakit terdahulu saya. Sebelum ini, saya sudah dua kali dirawat di RS yang sama karena masalah inflamasi jantung, yaitu pada awal 2010 dan menjelang akhir 2011. Setelah memperoleh pertolongan pertama seperlunya, saya dipindahkan ke kamar biasa, dan dimonitor oleh seorang dokter spesialis jantung. Rupanya telah terjadi penumpukan cairan di organ jantung saya yang disebabkan oleh kerja pompa yang tidak maksimal. Cairan yang menumpuk itu kemudian meluap ke paru-paru dan mengganggu sistem pernapasan serta mengakibatkan batuk. 

Dua hari opname, saya lalu diizinkan pulang. Tapi justru ketika dalam perjalanan akan pulang itu saya terkena stroke ringan. Saya dibawa kembali ke UGD dan kemudian segera dikirim ke ruang Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menjalani proses scanning. Seusai proses MRI saya dipindahkan ke ruang High Care Unit (HCU) di mana saya menjalani pemeriksaan Ekokardiografi (USG jantung). Hasil Eko ini menjelaskan terjadinya penggumpalan trombosit di jantung yang melesat ke luar dan menyumbat pembuluh darah yang menghantarkan O2 ke otak (trombus). 

Setelah delapan hari di RS, pada 22 Juli saya diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan. Obat yang harus saya konsumsi banyak sekali, ada 10 macam, meliputi obat untuk mengurangi penumpukan cairan. obat hipertensi, obat kolesterol, hingga pengencer darah. Sepertinya dokter berniat mencegah kemungkinan terulangnya serangan yang bisa berakibat lebih buruk.

Sesudah beberapa hari di rumah, masih lemah dan tak berdaya, seorang teman yang datang menjenguk membawakan dua macam suplemen herbal buatan China. Ia merekomendasikannya untuk saya konsumsi bersama-sama dengan obat dokter. Masing-masing suplemen itu terbuat dari serbuk sari bunga pinus dan ekstrak daun bambu. Tidak ada penjelasan sedikit pun darinya mengenai fungsi kedua herbal itu. Ia hanya meminta saya meminumnya sekian butir sekian kali sehari. Di kemasannya pun hanya ada penjelasan ringkas tentang fungsi ‘menyeimbangkan Yin dan Yang di dalam tubuh’ atau ‘membantu mengurangi kadar lemak di dalam darah’. Begitu humble! Pikir saya, kalau memang hanya itu khasiatnya, obat-obat dari dokter yang sepuluh macam itu mestinya sudah lebih dari cukup. 

Toh saya tertarik juga mencobanya. Terutama karena dari berbagai literatur yang ada saya bisa menarik kesimpulan bahwa kedua herbal itu bukanlah sembarang herbal. Keduanya telah ditetapkan sebagai satu-satunya suplemen kesehatan khusus Badan Antariksa China, yang dikonsumsi oleh para astronotnya. Maka sejak itu saya pun mengonsumsinya bersama-sama dengan obat dokter, dengan keyakinan akan memperoleh manfaat dari keduanya. Selain kedua produk kesehatan alami itu, saya berinisiatif sendiri menambahkan satu jenis herbal lagi. Fungsinya untuk membersihkan liver dan menetralkan racun yang beredar di dalam darah akibat mengonsumsi obat-obatan kimiawi (detoksifikasi). Herbal ini mengandung serbuk sari bunga pinus, ekstrak akar Kudzu dan ekstrak Thistle. Hanya untuk dua bulan pertama, sesudah itu saya kembali fokus ke kedua herbal itu.

Pada saat berikutnya, masih dalam proses rawat jalan, saya telah berpindah RS. Dokter spesialis jantung di RS ini lebih bersahabat dan mudah diajak berdialog (mau mendengar opini pasiennya). Di bawah penanganannya, setelah beberapa kali kontrol, pada 15 November saya kembali menjalani pemeriksaan Ekokardiografi. Hasil pemeriksaannya ini sungguh mencengangkan, karena menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan hasil Eko bulan Juli. Fungsi pompa jantung saya kini sudah berada di ambang batas normal! Dokter saya tidak percaya dengan terjadinya pemulihan sepesat itu. Proses Eko diulanginya kembali. Tapi hasilnya sama. Setelah selesai, masih diliputi rasa heran, ia mempersilakan saya turun dari tempat tidur. Tapi belum lagi sempat beranjak, saya dimintanya berbaring kembali, dan untuk ketiga kalinya ia mengulangi proses pemeriksaannya. Rupanya ia masih penasaran. Tapi hasilnya juga tetap sama! Ia pun tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Cetusnya pendek: ”Ini bagaimana mungkin?” Yang lalu disambungnya sendiri: “But... well, nothing is impossible”. Kata-katanya ini secara implisit mengungkapkan ketidakpercayaannya jika obat-obatan yang diberikannya selama ini mampu membuat perubahan sedemikian besar. Maka saya ceritakan kepadanya, bahwa sejak keluar dari RS empat bulan yang lalu saya telah mengombinasikan obat dokter dengan dua jenis herbal dari China itu. Dokter saya ini terlihat menaruh perhatian pada penjelasan saya. “Kalau ada yang membutuhkan, nanti saya akan bertanya-tanya lebih jauh kepada Bapak,” katanya. 

Dan bukan hanya pesatnya pemulihan di organ jantung itu saja yang di luar dugaan. Seminggu sebelumnya, saya juga menjalani pemeriksaan darah di laboratorium RS yang sama, yang pertama untuk pemeriksaan fungsi ginjal, dan yang kedua untuk mengetahui kadar kolesterol saya. Hasil keduanya juga dinyatakan normal. Dan sebelum ini, pada tanggal 1 Oktober, saya juga telah memeriksakan kesehatan di laboratorium yang dikelola oleh distributor herbal tersebut melalui metode visualisasi darah. Hasilnya, sirkulasi darah saya dinyatakan bagus (optimal), yang artinya tidak dijumpai lagi adanya penggumpalan trombosit (sampai di sini saya belum sepenuhnya meyakini efek positif dari kedua herbal itu, karena pada saat yang sama saya masih mengonsumsi obat dokter).

Maka dengan hasil seperti itu, dosis obat pun ada yang mulai dikurangi. Juga karena hasil Eko tadi menggambarkan tidak adanya lagi penggumpalan trombosit di jantung. maka konsumsi obat pengencer darah yang harganya selangit itu—Rp. 36.000,-/butir (10 mg)—pun dihentikan. 

Namun, sekadar untuk tujuan memperoleh perbandingan dan mencocokkan hasil, pada 21 November, saya kembali melakukan pemeriksaan melalui metode visualisasi darah. Seperti ketika datang yang pertama kali, saat ini pun saya tidak memberitahu dulu hasil Eko dokter jantung saya. Supaya hasil analisanya betul-betul objektif. Setetes darah yang diambil dari jari tangan saya, dengan bantuan mikroskop ditayangkan citranya ke layar monitor. Dari bentuk dan kondisi partikel sel darah, bisa diketahui kondisi kesehatan seseorang atau ada tidaknya penyakit. Analisnya kemudian “membacakan” apa yang tampak di layar. 

Wah, kok bisa begini?” katanya, yang tentu saja bikin hati jadi deg-degan. Tapi... ”Ini bagus sekali!” sambungnya melegakan. Saya pun bisa melihat sendiri tampilnya warna-warna yang cerah, dibandingkan hasil pemeriksaan sebelumnya yang terlihat agak pucat dan tidak penuh (solid). Jadi gambarannya sinkron dengan hasil Eko. Yaitu, seperti dikatakan oleh analisnya sendiri, inflamasi jantung saya telah pulih! Perpaduan hasil Eko dan visualisasi darah ini tentu saja sangat menggembirakan hati dan saya syukuri. Penyakit yang sudah enam tahun mendekam di tubuh saya dan membuat saya tiga kali opname serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit, seperti tiba-tiba saja sirna (seingat saya, dokter jantung di RS saya yang pertama itu pernah mengatakan bahwa sakit seperti ini tidak akan bisa sembuh). Dan masih disertai bonus: hasil cek darah itu juga menyatakan bahwa seluruh organ tubuh saya dalam keadaan sehat, wah! 

Saya kira, mukjizat yang saya alami ini hanya mungkin terjadi jika kandungan gizi di dalam serbuk bunga pinus dan daun bambu itu betul-betul kaya. Dari berbagai literatur yang terkumpul, tercatat bahwa kedua produk herbal ini memang memiliki kandungan nutrisi yang banyak sekali. 

Bahan dasar serbuk bunga pinus (pine pollen) yang diproduksi oleh Guozhen ini berasal dari pohon pinus Massoniana Lamb dan Tabulaeformis Carr yang tumbuh di pegunungan Propinsi Jiangxi dan Zhejiang, China. Bebas dari residu pestisida, herbisida, maupun pupuk kimia. Setiap butir pine pollen mempunyai banyak komposisi gizi aktif biologis (sebuah kehidupan tersendiri), mengandung berbagai jenis nutrisi dan substansi aktif (lebih dari 200 jenis), serta memiliki afinitas dengan tubuh sehingga mudah diterima dan diserap, serta dibawa ke setiap bagian tubuh untuk dimanfaatkan. Komposisi istimewa serbuk bunga pinus dapat secara nyata memperbaiki metabolisme tubuh, meningkatkan fungsi dan vitalitas berbagai sistem organ di dalam tubuh, melawan kekurangan oksigen, berkhasiat memperbaiki kondisi keletihan, mengurangi rasa lelah, kepala pusing, suka lupa, tak dapat konsentrasi, dan berbagai komplikasi keletihan kronis; dapat mengatur dan menenangkan nuansa hati, membuat orang merasa tenang. 

Dok.: Chi Indonesia
Pine pollen melindungi jantung, dan mencegah penyakit pembuluh darah jantung. Juga bermanfaat untuk menurunkan kolesterol, memperkecil pengendapan kolesterol di dinding pembuluh darah, meningkatkan kekenyalan pembuluh darah agar tekanan darah dijaga pada tingkat yang normal, dan mencegah berbagai jenis penyakit pembuluh darah jantung.

Serbuk bunga pinus mengandung berbagai senyawa yang dapat meningkatkan imunitas tubuh, sehingga aktivitas sistem imunitas tubuh nyata bertambah, juga berkhasiat untuk membasmi berbagai penyebab penyakit, dengan demikian dapat secara menyeluruh meningkatkan daya melawan penyakit, berkhasiat menurunkan persentase timbulnya infeksi, tumor dan penyakit imunitas.

Percobaan farmakologi membuktikan bahwa serbuk bunga pinus mengandung anti-oksidan dalam jumlah besar, seperti vitamin E, carotene, dan mikro-nutrien, dapat menghambat reaksi oksidasi lipid dan protein di dalam tubuh, meningkatkan fungsi menghilangkan radikal bebas, serta dapat menghambat penuaan sel jaringan.

Meski pun mungkin tidak semua penyakit bisa dipulihkan oleh khasiatnya yang luar biasa, menurut eorang pakar pine pollen:

Even though it is unable to cure all diseases, pine pollen can mitigate the most disappointing and dangerous status and situation in all states of illnesses. I am not afraid of any opposition against what I have said and never exaggerate it.

Sementara ekstrak daun bambu (bamboo leaf essence) produksi Guozhen dibuat dari daun bambu Phyllostachys glauca McCluire yang mengandung flavonoid daun bambu, coumarin lactone, amilase biologis aktif, dan asam fenolat. Bambu yang digunakan berasal dari daerah Anji, Propinsi Zhejiang, China yang juga bebas polusi dan tumbuh alami tanpa penambahan bahan kimia. 

Dok.: Chi Indonesia
Flavon sendiri berfungsi menghilangkan rasa lelah, melindungi pembuluh darah, mencegah arteriosklerosis, memperlebar pembuluh darah kapiler, menunjang sirkulasi mikro, memperbaiki anemia myocardium, mengaktifkan sel otak dan sel organ lainnya, mencegah oksidasi lipid, menyingkirkan oksidatit radikal bebas, dan menunda proses penuaan. 

Ekstrak daun bambu memiliki fungsi perlindungan yang baik terhadap kardio-serebro vaskular, menghentikan reaksi nitrosasi, anti radiasi dan perlindungan melawan tumor, menyelaraskan imunitas tubuh melalui peningkatan imunitas cairan tubuh dan sel dan aktivitas fagosit dari sel multi-fagosit, melindungi pembuluh darah otak dan jantung. Perlindungannya terhadap pembuluh darah otak dan jantung diwujudkan dengan melawan radikal bebas, mengendalikan peroksidasi lipid, meningkatkan aktivitas enzim antioksidasi endogenous, menurunkan kadar lipid dan kolesterol darah, melebarkan pembuluh darah koroner, meningkatkan aliran darah dalam pembuluh darah koroner, memperbaiki myocardial ischemia dan memperkecil myocardial infarct (penyumbatan di jantung), mengendalikan proses koagulasi (pembekuan) dan mengurangi pengumpulan trombosit, melindungi dari myocardial dan serebral ischemia (kekurangan darah pada jantung dan otak). 

Walau tidak pernah menjanjikan kesembuhan—lebih suka disebutkan sebagai makanan kesehatan saja, bukan obat—kedua produk Ghuozhen ini memiliki power yang luar biasa untuk memulihkan bermacam-macam gangguan pada kesehatan, yang ringan mau pun berat. Mereka yang telah mengalami sendiri manfaatnya memberi kesaksian kesembuhan atas berupa-rupa penyakit seperti sakit kepala, sulit tidur, sinusitis, sembelit, masalah stamina, dislipidemia, hipertensi, sakit persendian, asam urat, kista, prostat, liver, lambung, ginjal, jantung, diabetes, atau pun sroke

Pengalaman personal saya dengan kedua suplemen alami ini saya bagikan di sini, dengan harapan semoga akan berguna pula bagi mereka yang mungkin akan atau sedang dalam keadaan memerlukan. Hidup memang tak mudah, tapi jangan mau kalah! Dari pelajaran ini bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Alam Semesta telah mengatur dan menyediakan segala hal baik bagi kita, kita tinggal memanfaatkannya. Dia misteri dari puncak segala misteri.

Hanny Kardinata

Sunday, November 27, 2016

Toleransi (Tolerance)




Karya ini digagas oleh Iqbal Rekarupa di Yogyakarta dan divisualkan oleh Fadhl yang tengah menempuh studi di Kairo.  Mereka merasa sedih dan prihatin atas kondisi bangsa Indonesia dewasa ini yang tengah dilingkupi hawa nafsu amarah dan kebencian, saling hina dan saling caci. Karya pengingat ini dirancang dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, mengolah visual dengan merujuk pada naskah asli teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagai referensi utama:
“Kita Indonesia,Indonesia Kita.”
Semoga kebhinnekaan ini tetap dipersatukan dalam rajutan keberagaman Indonesia.

Bagi siapa saja yang memiliki niat bersama dan terpanggil untuk memperbaiki silaturahmi bangsa, silakan menggunakannya secara bebas pada aplikasi apa pun.




.

Tuesday, November 22, 2016

Takdir (Destiny)


“Kehendak Tuhan tak bisa ditahan.” 
—Iwan Esjepe
#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Monday, November 21, 2016

Bersyukur (Gratitude)




“Bahagialah mereka yang tetap bersyukur meski dalam kesukaran.” 
—Iwan Esjepe
#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Saturday, November 19, 2016

Rukun dan Damai (Peaceful)



“Tuhan, hanya kepadamu aku memohon, hanya kepadamu aku meminta. 
Lindungi kami, ridoi usaha kami, kabulkanlah doa kami, untuk menjadi bangsa sebuah negeri yang rakyatnya hidup kompak, rukun dan damai.” 
—Iwan Esjepe
#iwanesjepe #wordartist #esjepequote

Wednesday, November 16, 2016

Pengabdian (Dedication)

Your work is to discover your world and then with all your heart give yourself to it. 
—Buddha
Direktur pertama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI),sekarang Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta adalah R.J. Katamsi Martoraharjo (1897–1973). Pengabdian yang diteladankannya sebagai seorang guru kata sementara orang hanya bisa ditandingi oleh Ki Hadjar Dewantara, pahlawan pendidikan nasional Indonesia itu. 

Semangat pengabdiannya bagi dunia pendidikan ditunjukkan secara gamblang melalui perjalanan hidupnya di Yogyakarta, sejak mengajar di MULO dan AMS, kemudian merintis berdirinya akademi seni rupa pertama di Indonesia, ASRI, dan dipercaya untuk memimpinnya. Sebagai direkturnya yang pertama, R.J. Katamsi harus menerima kenyataan bahwa ia mesti memulai semuanya dari nol. Sebuah pekerjaan besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya waktu itu sangatlah lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Sebelum memiliki gedung sendiri, perkuliahan terpaksa dilaksanakan di banyak tempat dengan basis menumpang, antara lain di rumahnya sendiri di Jalan Gondolayu 20.

R.J. Katamsi memimpin ASRI hingga masa pensiunnya pada 1958. Tapi walaupun sudah pensiun, beliau masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Walau pun di masa penjajahan Belanda R.J. Katamsi mendapat gaji 400 gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun, beliau legawa dalam soal ini sebagaimana pernah diutarakannya:
“…kalau seseorang bercita-cita ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru.”
Dan lebih lanjut dikatakannya:
“Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun menjadi guru, tetapi sungguh-sungguh senang. Walau pun selama 46 tahun saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Yang saya cari memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”
—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I, h. 111–115, dan 137 


Gambar memperlihatkan Presiden Soekarno pada kunjungannya ke studio ASRI, di jalan Ngabean 5, Yogyakarta, 1955, disambut oleh R.J. Katamsi dan staf pengajar lainnya.
R.J. Katamsi beserta staf pengajarnya di depan gedung ASRI di jalan Bintaran Lor.

Pengabdian (Dedication)

Your work is to discover your world and then with all your heart give yourself to it. 
—Buddha
Direktur pertama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI),sekarang Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta adalah R.J. Katamsi Martoraharjo (1897–1973). Pengabdian yang diteladankannya sebagai seorang guru kata sementara orang hanya bisa ditandingi oleh Ki Hadjar Dewantara, pahlawan pendidikan nasional Indonesia itu. 

Semangat pengabdiannya bagi dunia pendidikan ditunjukkan secara gamblang melalui perjalanan hidupnya di Yogyakarta, sejak mengajar di MULO dan AMS, kemudian merintis berdirinya akademi seni rupa pertama di Indonesia, ASRI, dan dipercaya untuk memimpinnya. Sebagai direkturnya yang pertama, R.J. Katamsi harus menerima kenyataan bahwa ia mesti memulai semuanya dari nol. Sebuah pekerjaan besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya waktu itu sangatlah lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Sebelum memiliki gedung sendiri, perkuliahan terpaksa dilaksanakan di banyak tempat dengan basis menumpang, antara lain di rumahnya sendiri di Jalan Gondolayu 20.

R.J. Katamsi memimpin ASRI hingga masa pensiunnya pada 1958. Tapi walaupun sudah pensiun, beliau masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Walau pun di masa penjajahan Belanda R.J. Katamsi mendapat gaji 400 gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun, beliau legawa dalam soal ini sebagaimana pernah diutarakannya:
“…kalau seseorang bercita-cita ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru.”
Dan lebih lanjut dikatakannya:
“Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun menjadi guru, tetapi sungguh-sungguh senang. Walau pun selama 46 tahun saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Yang saya cari memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”
—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I, h. 111–115, dan 137

Gambar memperlihatkan Presiden Soekarno pada kunjungannya ke studio ASRI, di jalan Ngabean 5, Yogyakarta, 1955, disambut oleh R.J. Katamsi dan staf pengajar lainnya. 



R.J. Katamsi beserta staf pengajarnya di depan gedung ASRI di jalan Bintaran Lor.

Saturday, November 12, 2016

Tanggung Jawab Kewarganegaraan (Civic Responsibility)


Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.”  —John F. Kennedy (1917–1963)


Ketika Nazi Jerman telah menguasai daratan Eropa, Amerika tetap berdamai. Sebanyak 76% warganya memilih bersikap netral. Tetapi serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 pagi telah membangkitkan kemarahan Amerika dan melibatkan Amerika dalam PD II. Lebih dari 16 juta pria dan wanita, atau lebih dari sepersepuluh populasi, bertugas di angkatan bersenjata. Mereka yang tetap tinggal di rumah mengambil tanggung jawab sebagai ‘tentara sipil’ di berbagai segi kehidupan.

Partisipasi warga diperoleh melalui metode yang selaras dengan prinsip-prinsip masyarakat demokratis, dengan menyediakan insentif yang mendorong terjadinya tindakan-tindakan sukarela. Gagasan ini, dalam satu dan lain cara, ditemukan hampir di setiap poster: bahwa mempertahankan kemerdekaan sepenuhnya bergantung pada tanggung jawab warga negara—yang adalah pilihan bebasnya.

Dalam PD II, Amerika lebih banyak menggunakan poster daripada media lainnya sebagai alat propaganda dan yang paling banyak memproduksi poster dibanding negara-negara lain yang terlibat PD II. Sekitar 200.000 desain poster dicetak dengan berbagai tema, seperti merekrut tentara; menjaga kerahasiaan negara; meningkatkan dukungan warga sipil; mendorong investasi (war bond), produksi, konservasi; dan sebagainya. Berbeda dengan negara-negara sekutu lainnya, poster-poster Amerika menyampaikan pesan-pesan ‘positif’ seperti mengenai tanggung jawab warga negara, patriotisme, tradisi; alih-alih menyebarkan kebencian terhadap musuh.



Poster Even a little can help a lot–NOW, Al Palker, 1942. 


Washington menghitung kemenangan akan membutuhkan sekitar 300 miliar Dolar—sama dengan 4,4 triliun Dolar dalam jumlah saat ini. Pemerintah bisa mengumpulkan sebagiannya dari peningkatan pajak. Sisanya diserahkan kepada masyarakat.

Untuk mengumpulkan 300 miliar Dolar pada saat itu merupakan tantangan besar, karena itu berarti harus meminta setengah populasi di AS untuk membeli surat obligasi perang. Untuk menjamin keberhasilannya, biro-biro iklan di New York merekrut ahli-ahli propaganda paling potensial di Amerika. Menyadari kekuatan Hollywood beserta selebritinya, Amerika memproduksi film dalam jumlah besar. Lebih dari 300 tokoh perfilman mengikuti kampanye Stars Over America untuk menyemangati bangsa ini. Di akhir perang, kampanye surat obligasi menghasilkan 187,5 miliar Dolar. Dari pajak 112,5 miliar Dolar, total sekitar 300 miliar Dolar yang dibutuhkan tercapai.


Poster Your Victory Garden Counts More than Ever!, Hubert Morley.


Pemerintah mendorong warga mengembangkan kebun-kebun sayur untuk membantu mencegah kekurangan pangan. Bertanam di kebun (disebut: victory garden) dianggap sebagai tindakan patriotik dan perempuan didorong untuk mengalengkan (to can) serta melestarikan makananan yang mereka hasilkan dari taman ini. Semasa perang, Amerika mengembangkan 50 juta victory garden. Ini menghasilkan lebih banyak sayuran dari total produksi komersial, dan sebagian besar dipertahankan, mengikuti slogan ”Eat what you can, and can what you can’t.”


Poster When you ride ALONE, you ride with HITLER!


Ketika bahan bakar dan perlengkapan perang lainnya menjadi langka, warga dihimbau melakukan penghematan.

Kejahatan Nazi sering dipersonifikasi ke dalam gambar (berwujud) Hitler. Poster ini ditujukan untuk menghemat pemakaian bahan bakar bensin dengan cara bergabung dengan klub-klub berbagi-mobil (car-sharing club). Pemborosan sama artinya dengan pertolongan bagi musuh. 

Catatan: 
Kata kunci konservasi atau berhemat tetap relevan terutama dalam menghadapi tantangan global masa kini seperti perubahan iklim. Membiasakan diri dengan hal-hal kecil bisa sangat berarti, misalnya mematikan lampu saat keluar dari kamar, ketika membeli lemari es memperhitungkan biaya listriknya, memakai sumber alam dengan bijak, dan seterusnya.


—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I, h. 87–90




Friday, November 11, 2016

Hak Asasi Manusia (Human Rights)


It means a great deal to those who are oppressed to know that they are not alone. Never let anyone tell you that what you are doing is insignificant.
—Desmond Tutu (1931–kini)


Ratusan artis, termasuk Pablo Picasso (1881–1973) dan Joan Miró (1893–1983), menyumbang karya bagi Amnesti Internasional sepanjang 50 tahun perjalanannya.

Di situs Amnesti Internasional dituliskan: \
“Jalan panjang harus ditempuh sebelum hak asasi manusia menjadi kenyataan bagi semua orang. Tapi para seniman, sebagaimana halnya dengan Amnesti Internasional, akan selalu berada di jalan itu di setiap langkahnya.”

Poster Prisoner of Conscience, Joan Miró (1893-1983), 1977.

Poster Universal Declaration of Human Rights, Woody Pirtle (1944–kini), 1998.


—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I, h. 153