Monday, October 31, 2016

Membangun Manusia (Character Building)

“Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar. Mereka berkeyakinan tidak ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali. 
Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali peperangan besar.
Pada setiap kali peperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang. 
Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia. 
Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.” 
—Jared Diamond (1937–....)

Mengapa masyarakat-masyarakat runtuh

Mengapa sejumlah masyarakat di dunia mengalami kejatuhan? Dengan belajar dari bangsa Viking di Greenland pada Zaman Besi, penggundulan hutan di Pulau Paskah, juga kondisi Montana masa kini,  Jared Diamond, penulis penerima penghargaan Pulitzer berbicara mengenai tanda-tanda keruntuhan yang sudah dekat, dan bagaimana—kalau kita melihatnya—kita dapat menghindarinya. 

Menurut Jared, peradaban negara-negara seperti Indonesia, Kolumbia, dan Filipina sebentar lagi akan punah.

Lebih jauh dengan Jared Diamond (tersedia transkrip dalam Bahasa Indonesia): 




Thursday, October 27, 2016

Nasionalisme (Nationalism)


Men love their country, not because it is great, but because it is their own.”   
—Seneca (4 SM—65 M)

Pada 26 Desember 2004 lahir gerakan Indonesia Bertindak di Jakarta yang dipicu oleh keprihatinan atas terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami Aceh, sebuah ajakan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa melihat asal suku, golongan, agama, kelompok maupun partai, untuk bersatu melakukan sesuatu yang bisa meringankan penderitaan korban bencana. Gerakan Cinta Indonesia ini diinisiasi oleh sepasang suami-istri, Iwan Esjepe (penulis naskah iklan) dan Indah Esjepe (desainer grafis).


Logo gerakan ‘Indonesia Bertindak’.

Upaya yang dilakukan mereka saat itu berbentuk penggalangan dana dengan cara menjual kaos di kalangan dekat di sekitarnya. “Lon mow rayeuk that lon kalon Aceh” (Indonesia: Saya menangis keras melihat Aceh) adalah kata-kata yang tertulis di atas kaos hitam dan putih yang mereka edarkan—hasil karya desain dan olah kata Indah dan Iwan—yang dicetak dengan alat sablon milik mereka sendiri. Dana yang terkumpul dari hasil penjualan kaos itu mereka kirimkan ke Aceh untuk memperbaiki beberapa sekolah yang rusak di sana.


Gerakan ini terus berlanjut dengan kegiatan-kegiatan kemanusiaan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana di berbagai daerah di Indonesia (Yogyakarta, Wasior, Mentawai), di samping kegiatan-kegiatan kampanye komunikasi massa yang bertujuan untuk mengajak masyarakat mencintai negerinya, seperti kampanye Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful, yang—atas dukungan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri—telah menyebar hampir ke seluruh negara di muka bumi.

Kampanye Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful di Malakastraat, Den Haag, 2007.


Kaos Indonesia Bertindak bertuliskan Change the Way You See Indonesia yang penulisan kata-per-katanya dilakukan secara terbalik, mensugestikan cara melihat Indonesia dari sisi yang berbeda.


—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I, h. 239, dan konsep buku DGIDPDGD jilid ke-2

Tuesday, October 25, 2016

Identitas (Identity)


Sketching is almost everything. It is the painter's identity, his style, his conviction, and then color is just a gift to the drawing.”  
—Fernando Botero (1932–kini)


Semangat nasionalisme hadir di banyak lembaran buku DGIDPDGD. Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 28 Oktober 1938 di Batavia misalnya dilatarbelakangi oleh anggapan masa itu bahwa seniman-seniman lokal tidak berpotensi. Persagi dibentuk guna menjawab tantangan itu dan menjadi institusi yang menaungi para seniman lokal. S. Sudjojono (1913–1985) bertindak sebagai sekretaris sekaligus juru bicaranya. Nasionalisme yang kuat menjadi dasar ideologinya. Salah satu manifestasi yang diinginkan oleh Persagi adalah mewujudnya karakter Indonesia baru yang merupakan perpaduan nilai-nilai estetik tradisi dan modern. 

Decenta (Design Center Association) yang berdiri di Bandung pada 1973 juga mengembangkan semangat nasionalisme, dalam bentuk kolaborasi anak bangsa yang mengembangkan keahlian diri, mengembangkan ilmu, pendidikan, penelitian, dan mengembangkan pemahaman ilmu dalam masyarakat, sekaligus memperlihatkan manfaat ilmunya tersebut. 

Seluruh aktivitas ini bermula dari motivasi awal pendirian Decenta, yaitu sebagai reaksi kreatif terhadap kondisi dominan berkesenian pada saat itu, yang lebih meyakinkan diri bahwa pembentukan identitas akan terjadi dengan sendirinya apabila masing-masing individu dapat berkerja keras dalam berkarya. Decenta ingin mengembangkan keyakinan alternatif, yaitu berkesenian yang proaktif melakukan pencarian dengan menggali nilai-nilai tradisi, tanpa ragu-ragu membuka diri menyerap aset tradisi itu, memilahnya, kemudian mengangkatnya dan mengaktualisasikannya dengan kondisi masa kini. Proses dialog (mencari makna/reasoning, studi, dan komparasi) dengan tradisi ini harus dimulai dengan keyakinan bahwa ‘keindonesiaan’ itu ada dan harus dicari karena tidak datang sendiri atau tumbuh dengan sendirinya.  

Elemen estetik pada marmer gedung Convention Hall Jakarta karya Decenta.

Catatan:
Dalam arti luas, semangat nasionalisme bisa diperlihatkan oleh desainer-desainer Indonesia melalui kualitas karyanya. Pencapaiannya akan mengangkat nama Indonesia di kancah global.




Kebaikan (Kindness)


Ask yourself: Have you been kind today? Make kindness your modus operandi and change your world.
—Annie Lennox (1954–kini)

Saturday, October 15, 2016

Kebersamaan (Togetherness)

A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.
—John Lennon (1940–1980)/Yoko Ono (1933–kini)
Pada kisaran 1980-an, sejumlah desainer grafis berkumpul untuk pertama kalinya di jalan Padalarang 1A, Jakarta guna mempersiapkan berdirinya sebuah wadah untuk berjuang bersama bagi kemajuan profesi desainer grafis Indonesia. 24 September 1980, Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) diresmikan berdirinya serentak bersama pameran besarnya, Grafis’80 di Wisma Seni Mitra Budaya, jalan Tanjung 34, Jakarta. Pameran yang pertama ini diikuti oleh 43 desainer. Didasari oleh tujuan besar bersama, perjalanan IPGI senantiasa diwarnai dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan, bahkan meniadakan isu paling krusial masa itu, yaitu ITB vs Asri atau Yogya vs Bandung.


Poster—sekaligus brosur—pameran IPGI pertama, Grafis ‘80, Tjahjono Abdi, 1980.

Para pendiri dan anggota senior IPGI di dua baris belakang (kebetulan empat orang dari Yogya dan empat orang dari Bandung) bersama mahasiswa-mahasiswa DKV Studio Desain Grafis, Jurusan Desain, Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Institut Teknologi Bandung di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta, di mana pameran IPGI yang pertama, Grafis ‘80 diadakan.

—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia Ih. 165–168 



Kegigihan (Persistence)


Persistence can grind an iron beam down into a needle. 
—Chinese Proverb

Wedha Abdul Rasyid (1951–kini), ilustrator yang sejak 1977 berkarya bagi majalah Hai dan dikenal dengan ilustrasi-ilustrasinya untuk cerita Lupus karangan Hilman Hariwijaya, memulai gaya WPAP pada periode 1990–1991 (Lihat: Berterima Kasih (Gratitude). Pada masa itu Wedha mulai merasakan menurunnya fungsi matanya dan juga merasa terlalu cepat lelah. Kendala fisik itu mengganggunya setiap kali harus menyelesaikan gambar sosok manusia realis, yang menurut Wedha memiliki tingkat kesulitan paling tinggi.

Dalam kondisi seperti itulah Wedha mulai memikirkan cara yang lebih mudah dalam menggambar wajah manusia—secara manual ataupun dengan menggunakan komputer—dengan membayangkan wajah manusia sebagai kumpulan bidang-bidang datar yang dibentuk oleh garis-garis imajiner. Berbeda dengan pemahaman Kubisme, WPAP menggabungkan ragam warna sehingga membentuk karakter tokoh yang digambarkan. Cara menggambar seperti ini pada awalnya diberi nama Foto Marak Berkotak (FMB) dan kelak, sebagai sebuah gaya, namanya diubah menjadi Wedha’s Pop Art Portrait.

Gaya Pop Art khas Indonesia yang berangsur-angsur diapresiasi oleh berbagai kalangan ini akhirnya melahirkan Komunitas WPAP (27 September 2010). Melalui jejaring sosial Facebook, Komunitas WPAP berkembang di seluruh wilayah Indonesia, dan di berbagai negara lainnya. Pada 2013, anggotanya telah mencapai sekitar 7.000 orang.


Ilustrasi Keluarga Cemara, Wedha Abdul Rasyid, majalah remaja Hai. Gaya menggambar Wedha sebelum menemukan gaya Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP).

Ilustrasi karya Wedha dengan gaya Foto Marak Berkotak (FMB) cikal bakal gaya WPAP, berturut-turut menggambarkan Mick Jagger, Iwan Fals, dan grup musik Slank, 1990-an

Perkembangan gaya WPAP. The Avengers, Wedha Abdul Rasyid, 2012.

Eksplorasi terus menerus Wedha terhadap gaya yang telah diciptakannya sendiri ini membuat gaya yang dipakainya untuk menggambar potret ini telah melampaui batasan awalnya.


Friday, October 14, 2016

Berterima Kasih (Gratitude)


The essence of all beautiful art, all great art, is gratitude. 
—Friedrich Nietzsche (1844–1900)

Ilustrasi The Death of Sukrasana, Wedha Abdul Rasyid, 2012.
Gambar ini bersumber dari kisah pewayangan Ramayana, mengisahkan Sukrasana, raksasa kerdil buruk rupa yang “tanpa sengaja” terbunuh oleh panah kakaknya sendiri yang berwajah tampan, Sumantri—justru setelah Sukrasana membantunya memindahkan Taman Sriwedari dari kahyangan ke Istana Maespati atas perintah Harjuna Sasrabahu. 

Kisah ini mempersoalkan hati nurani manusia, yang ketika membutuhkan akan mengambil manfaat dari siapa saja, tetapi kemudian mencampakkannya.

Wedha adalah perintis gaya Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP).


—Dari buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia Ih. 40


Thursday, October 13, 2016

Kesetiaan (Fidelity)


“Banyak orang mempunyai gambaran yang salah tentang apa yang merupakan kebahagiaan sejati. Hal ini tidaklah dicapai melalui kepuasan diri sendiri tetapi melalui kesetiaan pada tujuan yang berharga.”
—Helen Keller (1880–1968)
Buku The Roots of the Mountains, 1890. Karya William Morris (1834–1896) ini dipamerkan pada pameran Arts and Crafts 1890 dan dianggap sebagai buku dengan penampilan terbaik sejak abad ke-17. 

William Morris mendedikasikan masa-masa akhir hidupnya bagi badan penerbitan yang didirikannya pada 1891, Kelmscott Press, London. Kelmscott memusatkan perhatian pada penerbitan buku-buku yang dicetak terbatas (limited-edition), serta memproduksi buku-buku dengan metode tradisional dengan menggunakan kembali teknologi cetak hand-printing dan gaya tipografi abad ke-15. Morris menerapkan prinsip-prinsip Seni dan Kriya (Arts and Crafts), merespons dengan baik metode-metode kontemporer dalam memproduksi buku dan teknik cetak litografi terutama yang dirancang agar hasilnya menyerupai cetak cukil kayu (woodcut). 

Seleksi ketat atas kertas (handmade paper) dan tinta (awalnya bahkan membuatnya sendiri), dan perhatian penuh pada pengintegrasian huruf dan dekorasi pada tiap halaman bukunya membuat Kelmscott Press menjadi penerbitan pribadi terkemuka pada masa pergerakan Seni dan Kriya, dan inspirasi utama bagi apa yang kemudian dikenal sebagai Private Press Movement. Beroperasi hingga 1898, Kelmscott Press telah menginspirasi sejumlah penerbitan pribadi lainnya, seperti: Vale Press, Caradoc Press, Ashendene Press, dan Doves Press.




Tanggung Jawab (Responsibility)


Desainer dan pemikir desain, Victor Papanek (1923–1998) adalah penganjur pendekatan yang bertanggung jawab secara moral dan holistik dalam merancang. Ia memandang desain sebagai daya bagi kebaikan; bahwa desain komersial bukanlah jalan terbaik bagi aktivitas merancang, dan desainer bertanggung jawab serta mampu memengaruhi perubahan nyata di dunia melalui desain yang baik. Didorong oleh faktor etika dan pandangan mengenai desain yang lebih baik bagi masyarakat dan dunia, ia menggugat praktik-praktik desainer umumnya pada masanya. Pada pandangannya, hanya sebagian kecil tanggung jawab desainer yang berada pada wilayah estetika.

Aspek penting lain dalam filosofinya adalah merancang segala sesuatu hingga ke batasnya yang paling sederhana dan fungsional dengan memperhitungkan konsumsi sumber daya dan dampaknya terhadap lingkungan serta tidak menggunakan kemasan mewah (fancy) hanya demi membuatnya terkesan lebih mahal. Bukunya Design for the Real World: Human Ecology and Social Change (1972) adalah tantangan bagi dunia desain komersial arus utama.

Dalam bukunya itu dinyatakannya:

“Desain iklan membujuk orang untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan dengan uang yang tidak mereka miliki guna memberi kesan tertentu pada orang lain (yang sama sekali tidak peduli) adalah sebuah disiplin paling menipu yang ada saat ini.”



Sampul buku Design for the Real World, Victor Papanek.

Wednesday, October 12, 2016

Keutuhan (Wholeness)


The spirit is one of the most neglected parts of man by doctors and scientists around the world. Yet, it is as vital to our health as the heart and mind. It's time for science to examine the many facets of the soul. The condition of our soul is usually the source of many sicknesses. 
 Suzy Kassem (1975–kini), Rise Up and Salute the Sun: The Writings of Suzy Kassem

Konsep kesehatan tradisional adalah “tidak sakit berarti sehat”. Konsep kesehatan modern adalah sehat secara keseluruhan, seperti definisi World Health Organization (WHO) bahwa “sehat bukan hanya berarti tidak adanya penyakit di dalam tubuh, tapi meliputi juga kesehatan emosi, daya adaptasi sosial yang baik, dan bermoral.” Oleh sebab itu, konsep kesehatan bagi manusia modern meliputi kesehatan tubuh, kesehatan emosi, kesehatan jiwa, kesehatan sosial, kesehatan intelegensi, kesehatan moral, kesehatan lingkungan, dll.




Tuesday, October 11, 2016

Integritas (Integrity)



Sebagai reaksi atas kondisi masyarakat Inggris 1960-an yang lebih fokus pada arus utama periklanan komersial, sekelompok desainer dan fotografer menerbitkan Manifesto First Things First pada 1963. Manifesto ini menyerukan agar para perancang desain kembali memprioritaskan aspek humanis dari desain, seperti pada tugas-tugas pendidikan dan pelayanan publik, daripada memboroskan waktu dan talentanya demi membujuk masyarakat untuk membeli barang-barang yang tidak penting.


Monday, October 10, 2016

Memberi Kembali (Giving Back)

We make a living by what we get. We make a life by what we give.
 —Sir Winston Churchill (1874–1965)

Sampul depan Majalah Aikon!, Edisi No. 123, April 2001, desain grafis: Enrico Halim, ilustrasi: Samuel Indratma.

Pada 22 Juli 1994 di Jakarta terbit sebuah majalah berwawasan lingkungan hidup yang berbasis desain grafis, Aikon! Enrico Halim menerbitkan Aikon! sebagai majalah gratis, sebagai upaya untuk mengembalikan kepada masyarakat sebagian dari keuntungan yang diperoleh dari biro desain grafisnya. Aikon! memosisikan diri sebagai media yang giat mengusung isu lingkungan hidup, yang pada masa itu masih jarang diangkat oleh media massa. Sejak awal, media cetak pertama yang didistribusikan secara gratis di Indonesia ini (Nilai Peduli Sosial), menggunakan kertas daur lokal dengan memerhatikan ukuran serta aplikasi warna yang bertanggung jawab bagi lingkungan (Nilai Peduli Lingkungan). Enrico memilih menggunakan kertas ramah lingkungan sebagai bahan majalahnya atas dasar pertimbangan ekonomis dan edukatif. Pertama, dana yang tersedia tidak banyak, maka perlu disiasati dengan menggunakan materi yang murah, yaitu kertas samson kraft yang biasa dipakai sebagai bahan pembungkus (nilai ekonomis). Tapi walau sering dianggap remeh dan tidak bernilai, kertas ini akan bermanfaat dan memiliki nilai tambah bila disertai dengan gagasan yang baik.


Sunday, October 9, 2016

Kemurahan Hati (Generosity)

Franklin and Electricity, vignet oleh BEP (Bureau of Engraving and Printing) (sekitar 1860). 
Sumber gambar: Wikimedia Commons.

Benjamin Franklin (1706–1790) merupakan bagian dari Abad Pencerahan pada abad ke-18 di Amerika, sebuah masa yang bersumber dari gagasan bahwa selalu ada penjelasan alami bagi setiap fenomena alam. Franklin adalah penemu teori mengenai listrik—dalam upayanya melawan takhayul yang berlangsung pada masa itu (perang antara takhayul dan sains), ketika petir dianggap sebagai kutukan Tuhan—dan kemudian menemukan penangkal petir (1749).

Franklin juga menemukan sistem perapian (1741), sistem kateterisasi (1752), alat musik glass harmonica (1761), kacamata bifokal (1784), dll. Franklin tidak pernah berniat mematenkan penemuan-penemuannya itu; pada otobiografinya ia menulis: 
“...sebagaimana kita menikmati manfaat dari penemuan-penemuan orang lain, sudah seharusnyalah kita juga merasa bahagia bila memiliki kesempatan untuk melayani orang lain melalui penemuan-penemuan kita, dan ini semestinya kita lakukan dengan suka cita dan sepenuh hati.”

Saturday, October 8, 2016

Kesatuan (Unity)


Join, or Die (1754), kartun kampanye politik yang dirancang oleh Bapak Bangsa Amerika, Benjamin Franklin (1706–1790) yang juga seorang pengarang, politikus, ilmuwan, dan penemu; untuk mendesak agar koloni-koloni di Amerika bersatu selama Perang Tujuh Tahun (1756–1763).

Merupakan karya cukil kayu yang melukiskan seekor ular yang terpotong menjadi delapan (8) bagian. Masing-masing segmen diberi label dengan inisial salah satu koloni atau wilayah Amerika: ‘NE’ merepresentasikan New England, diikuti oleh ‘NY’ (New York), ‘NJ’ (New Jersey), ‘P’ (Pennsylvania), ‘M’ (Maryland), ‘V’ (Virginia), ‘NC’ (North Carolina), dan ‘SC’ (South Carolina). Karya ini menjadi simbol bagi perlunya bersatu dan melakukan aksi terorganisir menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh Perancis dan penduduk asli Amerika pada pertengahan abad ke-18.

Dewasa ini pun, karya ini masih relevan dalam mengingatkan kecenderungan kita yang lebih suka menekankan perbedaan daripada kesatuan.